PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG MASALAH
Apabila kita mengikuti sejarah
perkembangan bangsa Indonesia maka yang harus diangkat adalah kemajemukannya.
Yaitu, keberagaman suku bangsa yang ada, dimana dinamika masyarakat dan
kebudayaannya yang memiliki konsepsi-konsepsi khusus mengenai konsep suku
bangsa di suatu daerah kebudayaan. Dalam kebudayaan tersebut ada yang dikatakan
sebuah kearifan lokal, yaitu pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta
strategi kehidupan yang terwujud dalam aktivitas masyarakat setempat. Dalam
makalah ini suku bangsa Nias adalah topik yang ingin kami kaji lebih lanjut
mengenai kearifan lokal yang ada, dan juga mengenai etika lingkungan suku
bangsa Nias.
Suku Nias adalah sekelompok
masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, masyarakat Nias
menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha =
manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah Suku Nias
adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih
tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut “FONDRAKÖ” yang mengatur segala
segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup
dalam budaya megalitik (batu besar) dibuktikan dengan peninggalan sejarah
berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman
khususnya di Teluk Dalam (Nias Selatan), Onolimbu (Nias Barat)dan di
tempat-tempat lain sampai sekarang.
Dalam kearifan lokal terdapat
beberapa karakter yang mendefinisikan kebudayaan suku bangsa Nias. Yang
diantaranya: etika, kesehatan, sosial kemasyarakatan, kelestarian lingkungan,
kondisi alam, dan lain-lain.
1.2
TUJUAN
a) Pembaca dapat
mengetahui seluk beluk hakikat serta penerapan hubungan antara kearifan lokal
nias dengan etika lingkungan.
b) Mengetahui dan memahami berbagai kearifan
lokal masyarakat Nias, baik dari segi kesenian, kepemimpinan, dan sebagainya.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 KEARIFAN LOKAL
Kearifan
lokal sebagai pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta strategi kehidupan
yang terwujud dalam aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Kehidupan manusia pun menjadi lebih dinamis dan berwarna. Dengan kearifan
lokal, manusia senantiasa:
a)
Mencari tahu dan menelaah bagaimana cara hidup yang lebih baik dari
sebelumnya.
b)
Menemukan sesuatu untuk menjawab setiap keingintahuannya.
c)
Menggunakan penemuan-penemuan untuk membantu dalam menjalani aktivitas
sehari-hari.
Manusia
pun menjadi lebih aktif mengfungsikan akal untuk senantiasa mengembangkan ilmu
yang diperoleh dan yang dipelajarinya. Selain itu berkat kearifan lokal, manusia:
a)
Menjadi tahu sesuatu dari yang sebelumnya tidak tahu.
b)
Dapat melakukan banyak hal di berbagai aspek kehidupan.
c)
Menjalani kehidupan dengan nyaman dan aman.
2.2 DEFINISI
Ruang lingkup
kearifan lokal masyarakat Nias terdapat pada beberapa aspek. Yaitu, Local
Wisdom ( kebijakan lokal), Local Knowledge (pengetahuan setempat), dan Lokal
Genius (kecerdasan setempat).
Local
Wisdom yang berarti kebijakan lokal adalah sebuah ruang lingkup yang
berlandaskan kebijakan, kebijakan dapat diartikan kemahiran akan konsep dan
azaz yang menjadi garis besar dan dasar rencanadalan pelaksanaan suatu
pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak dalam dalam pernyataan
cita-cita,tujuan, prinsip, atau maksud dari garis pedoman untuk management
dalam usaha mencapai sasaran. Dengan kata lain kebijakan lokal adalah rangkaian konsep dan azaz yang menjadi garis
besar rencana atau aktivitas masyarakat setempat.
Local
Knowledge yang berarti pengetahuan setempat adalah ruang lingkup yang
berlandaskan pengetahuan, pengetahuan dapat diartikan sebagai sesuatu yang
diketahui dan berkenaan dengan hal kehidupan manusia dalam masyarakat setempat.
Lokal
Genius yang berarti kecerdasan setempat adalah ruang lingkup kecerdasan,
kecerdasan dapat diartikan kesempurnaan perkembangan akal budi, kecerdasan yang
berkenaan dengan hatidan kepedulian antar sesama manusia, mahluk alam, dan
Tuhan dalam aktivitas masyarakat saetempat.
2.3
KAIDAH-KAIDAH
Kebijakan umum,
adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok,
dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Pada
prinsipnya yang membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk
melaksanakannya. Dalam penekanannya aspek kebijakan umum ( kearifan lokal),
menganggap bahwa setiap masyarakat mempunyai tujuan bersama. Cita-cita bersama
ini ingin dicapai melalui usaha bersama, dan untuk itu perlu ditentukan
rencana-rencana yang mengikat, yang dituangka dalam kebijakan oleh pihak yang
berwenang, dalam hal ini pemerintah / tokoh adat setempat. Berikut ini
definisi, Hoogerwerf : objek politik adalah kebijakan pemerintah proses
terbentuknya, serta sebab akibatnya. Ialah membangun masyarakat secara terarah
melalui pemakaian kekuasaan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 HAKIKAT KEARIFAN
LOKAL NIAS
Kearifan
lokal sebagai pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta strategi kehidupan
yang terwujud dalam aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Dimana
kearifan lokal tersebut memiliki karakter yang diturun-temurunkan melalui
budaya setempat. Yang diantaranya, etika sebagai bagian dari kearifan lokal
adalah ilmu tentang apa yang baik dan burukdan tentang hak dan kewajiban
(ahklak), kesehatan atau pengobatan adalah cara atau proses penyembuhan, sosial
kemasyarakatan, mata pencaharian, kelestarian lingkungan, bencana alam, dan
lain-lain.
3.1.1
Sejarah Perkembangan Masyarakat Nias
Suku Nias adalah sekelompok masyarakat
yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, masyarakat Nias menamakan diri
mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau
Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah Suku Nias adalah masyarakat
yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat
Nias secara umum disebut “FONDRAKÖ” yang mengatur segala segi kehidupan mulai
dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya
megalitik (batu besar) dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada
batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman khususnya di Teluk
Dalam (Nias Selatan), Onolimbu (Nias Barat)dan di tempat-tempat lain sampai
sekarang.
Menurut Mitos asal usul
suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru
Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli
Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas dikatakan bahwa kedatangan manusia
pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra
yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra
itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di
Pulau Nias.
Sedangkan berdasarkan
penelitian Arkeologi yang telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan
hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di
Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia
di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke
Pulau Nias pada masa paleolitikum, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun
lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional
dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan
budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias
berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang
disebut Vietnam.
3.1.2
Kearifan Lokal
dalam “kepemimpinan”
Di pulau Nias juga dikenal istilah marga
yaitu sistem yang mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya
berasal dari perkumpulan-perkumpulan dari seorang nenek moyang. Pernikahan
dalam satu marga tidak dibenarkan.
Di samping itu pula di
Pulau Nias dikenal istilah kasta. Di pulau Nias dikenal ada sistem kasta (12
tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah
"Balugu" dan untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu
melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan
ekor ternak babi selama berhari-hari. Adapun beberapa rincian kasta yang
terdapat di Pulau Nias antara lain :
a) Si’ulu (Balugu/Salaŵa), yaitu: golongan
masyarakat yang mempunyai kedudukan tertinggi secara turun-temurun, akan tetapi
pengukuhannya melalui proses pelaksanaan pesta kebesaran (Owasa/Fa’ulu).
Bangsawan yang telah memenuhi kewajiban adatnya melalui proses Owasa/Fau’ulu
disebut Si’ulu Si Ma’awai dan menjadi Balö Zi’ulu yaitu bangsawan yang
memerintah;
b) Ere, yaitu: para pemimpin agama kuno. Sering
juga, oleh karena kepintaran seseorang dalam hal tertentu, maka dia disebut
Ere, umpamanya Ere Huhuo yaitu seseorang yang sangat pintar dalam berbicara
terutama menyangkut adat-istiadat. Secara garis besar terdapat 2 (dua) macam
ere, yaitu: Ere Börönadu dan Ere Mbanua;
c) Si’ila, yaitu: kaum cerdik-pandai yang
menjadi anggota badan musyawarah desa. Mereka yang selalu bermusyawarah dan
bersidang (Orahu) pada setiap masalah-masalah yang dibicarakan dalam desa,
dipimpin oleh Balö Zi’ulu dan Si’ulu lainnya;
d) Sato, yaitu: Masyarakat biasa (masyarakat
kebanyakan) juga sering disebut Ono mbanua atau si fagölö-gölö atau niha si
to’ölö;
e) Sawuyu (Harakana), yaitu: golongan
masyarakat yang terendah. Mereka berasal dari orang-orang yang melanggar hukum
dan tidak mampu membayar denda yang dibebankan kepadanya berdasarkan keputusan
sidang badan musyawarah desa. Kemudian mereka ditebus oleh seseorang (biasanya
para bangsawan), oleh karenanya semenjak itu mereka menjadi budak (abdi) bagi
penebus mereka. Mereka juga berasal dari orang-orang yang tidak mampu membayar
utang-utangnya, orang-orang yang diculik atau orang-orang yang kalah dalam
perang, kemudian mereka menjadi budak.
Stratifikasi sosial di Nias
memiliki pemahaman dan dasar agama suku. Dualisme para dewa tercermin dalam
pelapisan sosial di Nias. Sifat dewa atas sebagai pencipta dan yang memerintah
kosmos, itu dimiliki oleh kaum bangsawan (nga`ötö zalawa/si'ulu) dan
sifat dewa bawah dimiliki
oleh rakyat biasa (nga`ötö niha sato/sito`ölö). Sedangkan budak atau nga`ötö
zawuyu, pada konsep asli tata kemasyarakatan Nias, tidak dijumpai. Kaum
budak timbul kemudian, karena beberapa alasan, misalnya tawanan perang, atau
orang yang tidak sanggup membayar utang lalu dijadikan budak, atau orang yang
seyogianya dihukum mati karena kesalahannya yang cukup berat, lalu ditebus oleh
kaum bangsawan dan kemudian dijadikan budak. Kaum bangsawan sebagai pencipta
dan pemerintah banua, seperti halnya Lowalangi, mencipta dan memelihara kosmos.
Kaum rakyat kebanyakan rela mati di medan perang karena mereka bertugas menjaga dan
memelihara banua, seperti halnya Laturadanö yang memelihara dan menjaga kosmos.
Dalam sistem kemasyarakatan Nias, yang menjadi pemimpin
banua adalah Salawa atau Balö Zi’ulu dan perangkatnya, sedang pada aras
Öri dipimpin oleh Tuhenöri dan perangkatnya. Sudah menjadi bagian dari
budaya bahwa yang menjadi pimpinan banua atau Öri adalah yang mempunyai
status tinggi dalam masyarakat. Sebelum banua didirikan, dulunya masyarakat Nias
mendirikan rumahnya terpencar-pencar. Lalu bila ada dari antara masyarakat yang
mau mendirikan banua, maka lebih dahulu ia harus
menunjukkan dirinya dan kemampuannya melalui Owasa (Pesta besar) dalam
menaikkan status sosialnya, sehingga kelihatan lebih tinggi dari
masyarakat lainnya.
F. Harefa menyatakan bahwa Salawa
artinya Yang Tinggi. Ia disebut demikian karena ialah yang lebih dari kawannya
sekampung itu dalam segala hal, umpamannya: Tentang bangsa, dialah yang
lebih tertua; tentang keadaannya, dialah yang lebih berada; tentang
kepandaian, dialah yang lebih pandai dan sebagainya. Sejajar dengan itu,
Bambowo La'ia menyatakan bahwa pemimpin di Nias itu mempunyai syarat,
yakni:
(1) berwibawa (Molakhömi).
Wibawa itu mewujudkan diri dalam keseganan terhadap seseorang. Wibawa
ini adalah pembawaan sejak lahir, dan sukar menerangkan sebab-sebab yang
membuat orang segan kepada seseorang itu.
(2) senioritas (Fa'asia'a).
Sebenarnya menyangkut faktor ini boleh dua pembahagian, yaitu tua karena
umur dan tua karena dianggap tua, bukan karena umur. Tua karena umur
itulah senioritas, tetapi tua karena dianggap tua atau karena alasan-alasan yang
tertentu itulah yang disebut "primus interpares".
(3) berkeadaan (Fo
khö). Seorang diangkat pimpinan karena kaya. Di Nias sering terdengar :
"Lihat dulu dapurnya, berasap apa tidak." Maksudnya, apakah
berkeadaan atau tidak.
(4) kepandaian (Fa'onekhe).
Bila yang berkeinginan mendirikan kampung tersebut telah menunjukkan dirinya
sebagai yang "tertinggi", barulah ia memberitahu dan sekaligus
mengajak masyarakat untuk mendirikan banua. Pada waktu itu, yang bakal
"salawa" membayar adat kepada orang banyak. Adapun nama-nama adat
tersebut adalah: pembersihan bukit/pertapakan kampung (Folowi ba hili);
penanaman tanda sila'uma (Fananö zi la'uma); pemberian nama kampung (Famatörö
döi mbanua) dan membuat jalan ke pancuran (Folowi lala ba nidanö).
Untuk keempat pekerjaan di atas, calon salawa harus
membayar adat, yakni babi, emas dan perak. Menurut perhitungan pada tahun 1939,
jumlah tanggung-jawab calon salawa tersebut adalah f 100. Kalau ini telah
dipenuhi, maka nama calon salawa tersebut menurut adat disebut Sanuhe (salawa/pemimpin
nomor 1). Perangkat desa lainnya, yakni Tambalina (nomor 2), Fahandrona
(nomor 3), si Daôfa (nomor 4), si Dalima (nomor 5), si
Daönö (nomor 6) sampai nomor 10 bahkan nomor 12. Mereka juga melaksanakan
pesta, dengan menunaikan tanggung-jawab mereka sesuai dengan adat yang berlaku.”15 Tugas,
tanggung jawab pimpinan banua serta berbagai hukum dan peraturan yang berlaku
di wilayah itu, disepakati melalui musyawarah Fondrakô.
Demikian halnya untuk Öri, di mana Tuhenôri dan
perangkatnya mempunyai status sosial yang tinggi dalam masyarakat. Ketika
mendirikan Öri (Negeri), maka Tuhenöri dan perangkatnya, yakni nomor 2-12, juga
membayar tanggung-jawab sesuai dengan adat pendirian Öri.
Berbicara mengenai pemekaran kampung, bagi masyarakat
Nias dulunya, itu hal biasa ketika terjadi penyebaran penduduk, dengan
ketentuan bahwa pemimpinnya tetap menjalankan persyaratan sebagaimana telah
diuraikan di atas. Pemekaran banua bukan karena ada “perselisihan”, tetapi
justru “setelah seseorang menunjukan prestasinya dengan: mokhö, molakhömi,
atuatua/onekhe dan tobali samaeri. Sedangkan mengenai nama-nama Banua,
orang Nias dulunya ketika mengadakan penyebaran sering kali membawa nama Banua
darimana mereka berasal (Misalnya: Ononamölö, Onowaembo; Si so bahili,
Hiligara, dst.) dan sering juga penamaan banua itu sesuai dengan kondisi atau
tempat dimana mereka berada.
Dari uraian di atas, terungkap bahwa dalam budaya Nias,
terungkap kearifan lokal dalam sistem kepemimpinan, dimana tidak ada pemimpin
yang “lompat pagar” atau “kutu loncat” atau “instan”, melainkan seorang yang
memiliki kapasitas dan integritas (kecerdasaran, kepedulian kepada rakyat,
mengayomi rakyat, melayani rakyat) dan memiliki integritas, sehingga dihormati
di tengah masyarakat. Sayangnya, sistem Banua dan Sistem Pemerintahan telah
mengalami perobahan pada masa kolonial dan NKRI, dan kurang peduli dengan
kearifan lokal yang ada, walaupun hingga sekarang paradigma dan sistem nilai
tentang tradisi tersebut masih terdapat di tengah masyarakat.
3.1.3
Kearifan Lokal
dalam “keragaman”
Masyarakat Nias sangatlah sejalanan pada kehidupan
majemuk. Memang pada perkembangan sejarahnya, dalam sistem kemasyarakatan
tradisional dikenal istilah “sowanua” (orang dalam) dan “sifatewu” (Masyarakat
pendatang). Namun sistem keterbukaan kepada sifatewu-pun masih ada. Apabila
“sifatewu” menyatakan diri sebagai anggota komunitas banua melalui upacara
adat, maka sifatewu menjadi bagian dari banua.
Lebih jauh ke belakang, kalau
mengkaji asal-usul “Ono Niha”, maka mitos melalui syair mengungkapkan keragaman
leluhur yang diperkirakan datang bergelombang di kepulauan Nias. Misalnya,
syair: “Nidada raya Hia, nifailo yöu Gözö – ba no mamuko danö niha mohulu
gotou, mohulu guro. Andrö dania ladaya Hulu Mbörö danötanö ba mafi gaekhula,
ba no manaere danö niha mo’afi zumbila, mo’afi moyo. Awena ladada Daeli
Sanau Talinga, ba awena sibai alo’o ba fadaya danö Niha.”
Kalau melakukan pengkajian syair tersebut secara mendalam
dengan analisa etno-sosiologis, maka memberi indikasi bahwa leluhur Nias datang
ke Tanö Niha bergelombang atau bertahap, lalu mengalami asimilasi-bertahap atau
pembaruan antar-etnik dalam rentang waktu yang cukup panjang, termasuk dalam
sistem sosio-kulturalnya, bahasa yang melahirkan berbagai logat (idiom),
perubahan bentuk fisik dan sistem kepercayaan lainnya.
Namun perlu dicatat bahwa
“kesatuan antar etnik” bukan tanpa ketegangan dan peperangan. Masalahnya bahwa
leluhur-leluhur Nias yang datang ke daerah ini, karena sifatnya bertahap maka
bentukan budayanya juga mengalami perkembangan. Mulai dari kehidupan yang
bergantung pada alam (mengumpulkan hasil alam) hingga pada pengolahan hasil
alam (pertanian, peternakan). Lebih dari itu, kelompok-kelompok yang datang dari
luar tersebut telah memiliki kebudayaan
sendiri dari daerah asalnya. Bagi kelompok pertama yang datang, tradisi dari
daerah asal tersebut diteruskan dan disesuaikan dengan konteks keberadaan
mereka di kepulauan Nias. Ketika kelompok etnis lain datang dan bertemu dengan kelompok
sebelumnya, maka di sini terjadi interaksi dan akulturasi antar
etnik/kebudayaan. Menurut Garang bahwa interaksi itu terjadi antara kelompok
yang telah ada di Nias pada masa mesolitikum atau neo-megalitik dengan kelompok
yang datang pada masa paleo-mongolide, disusul oleh kelompok yang disebut
kelompok neo-litikum, serta kelompok mongolide. Interaksi dan akulturasi
tersebut terjadi sekitar empat ribuan tahun yang silam. Pada perjumpaan
tersebut, masing-masing kelompok tentu berusaha mengalahkan kelompok lainnya
(disini dikenal “perang antar banua”), saling berusaha mempertahankan identitas
dan tradisinya masing-masing sehingga terjadi sikap saling menolak atau saling
menaklukan yang lain, ataupun juga saling menerima. Perjumpaan dalam jangka
panjang ini, melahirkan minimal tiga hal: (1) Tradisi kelompok tertentu hilang
karena mengikuti tradisi kelompok lain; (2) tradisi masing-masing masih terus
hidup dan tidak ada titik temu satu dengan yang lain, dan (3) menghasilkan dan
menyepakati system baru, hukum baru, tradisi baru dalam hidup bersama, walaupun
tradisi masing-masing masih hidup dalam kelompok masing-masing.
Hasil interaksi/pembaruan panjang
tersebut di atas, telah menampilkan penduduk Nias yang sekarang, yang pada
dasarnya beraneka-ragam dalam banyak hal, namun tetap memiliki kultur dasar,
baik dalam hal bahasa maupun adat-istiadat, sistem kepercayaan dan tradisi
lainnya. Keragaman dan Asimilasi inilah yang melatar-belakangi ungkapan “amakhoita
zatua” (tradisi etnik) dan “amakhoita mbanua” (kesepakatan
bersama yang telah berasimilasi “antar-etnik”), yang di belahan tengah, timur,
barat dan utara dikenal dengan nama “Fondrako”. Kesadaran akan kesatuan dalam
keragaman ini, juga tampak dalam
komunikasi antar banua dalam kegiatan adat-istiadat, yang selalu dimulai dengan
perkataan: “Sara nidanö, sambua ugu’ugu, sambua mbanua sambua mbuabua/mböwö”.
Dan demi kebersamaan, maka kedua belah-pihak biasanya mencari titik-temu untuk
saling bekerjasama dan saling menutupi kelemahan. Dalam konteks itulah muncul
ungkapan (amaedola): “Undu ita, la’iju ita, faoma tabalugö mbua
nawöda.”
Keterangan di atas menguatkan
argumentasi tentang keragaman kedatangan leluhur Nias (baik dari segi waktu
maupun tempat, dan setelah mengalami interaksi antar masyarakat yang begitu
lama, maka melahirkan kesamaan-kesamaan tradisi, pola pikir dan tindak, bahasa
(walaupun ada variasi-variasi), warna kulit (juga bervariasi) dan unsur-unsur
kebudayaan Ono Niha.
Latar belakang “keragaman dan
kesatuan” ini memberikan pengalaman (kearifan) masyarakat Nias dalam
berinteraksi atau berjumpa dengan pihak lain yang terbuka atau inklusive. Ini
merupakan kekuatan lokal bagi zaman ini dalam hal hidup dalam keragaman atau
kemajemukan. Namun, tidak dapat disembunyikan bahwa “kearifan lokal” tersebut
banyak mengalami pergeseran, bahkan telah melahirkan sikap eksklusive bagi
masyarakat Nias, karena pengalaman pahit dalam perjumpaan dengan kelompok lain
yang datang kemudian, tertutama ketika praktik “jual-beli tenaga kerja” oleh
kelompok Aceh dan kemudian kelompok VOC (Gombani), yang memunculkan
sikap “oportunis” dan sikap “alergi bahkan anti-pati” terhadap kelompok luar.
Pengalaman pahit inilah yang melahirkan sikap “curiga” terhadap pendatang baru,
namun kalau sudah diketahui bukan “musuh”, masyarakat Nias juga terbuka
menerimanya. Ungkapan “Emali niha fatua baewali so, ono luo na so
yomo” yang biasa digunakan dalam pembicaraan adat perkawinan adalah juga
kearifan dalam perjumpaan dengan pihak lain. Itulah pengalaman ketika
kekristenan tiba di Nias ini 147 tahun
silam. Dimana Ono Niha “terbuka menerima misionaris”, bahkan bersedia
meninggalkan “kepercayaan lamanya” dan mengikuti ajaran agama baru yang
diperkenalkan kepada mereka.
Karena keragaman tersebut, maka
terdapat prinsip “jangan biarkan ada yang terlewatkan” (tidak diperhitungkan),
baik dalam pembagian “material”, dalam penyebutan, dan dalam kepemimpinan
(terutama bagi mereka dalam strata/bosi wa’asalawa). Dalam hal inilah muncul
ungkapan: “Tefengo nono gae si lö mu’erai”. Ini semua demi kebersamaan
dan kesatuan dalam keragaman. Dalam proses sejarah mereka merasakan bahwa jauh
lebih menguntungkan kesatuan dari pada peperangan. Makanya muncul berbagai
ungkapan yang menunjang kesatuan, seperti: “Ebua hugöhugö zato”, atau “Na ha
sara li da, na ha sambua zondra, tola ta’olikhe gawoni ba tola ta’olae
gulinasi”.
3.1.4
Kearifan Lokal
dalam “Adat-Istiadat selingkaran hidup”
Pokok yang penting dicatat bahwa bagi masyarakat Nias ada
beberapa istilah yang berkaitan dengan adat, yakni hada (hada zatua), huku
hada, amakhoita (goigoi), fondrako, bowo, dan lainnya
(menurut wilayah masing-masing). Menurut pemahaman Ono Niha (dahulu) bahwa adat-istiadat itu tidak
hanya sebatas bentukan tataan sistem
kemasyarakatan yang harmoni dan
tata hidup menjawab tantangan di sekitarnya, melainkan dipahami sebagai amanah leluhur bahkan amanah dewa yang
dipercayaai saat itu.
Dalam mite dijelaskan bahwa ketika
leluhur Nias diturunkan dari Teteholi Ana’a, diikut-sertakan kepada mereka
segala yang dibutuhkan, yakni rumah lengkap dengan peralatannya, semua alat
ukur atau timbangan (Afore = alat ukur babi, Lauru = alat timbangan padi/beras,
Fali’era = alat timbang emas); semua jenis tanaman, binatangbinatang, termasuk
pinang, gambir dan sirih. Demikian juga segenap perhiasan, termasuk bait (osali)
serta berbagai macam Adu (patung).5 Mite tersebut hendak mengungkapkan bahwa
manusia yang diturunkan
dari Teteholi Ana’a itu telah mempersiapkan segenap kebutuhan, termasuk sistem hukum adat dan religinya. Hal
ini penting untuk menjaga hubungan di
antara mereka dan relasi dengan allah atau leluhurnya, sehingga manusia
yang ada di bumi ini tetap hidup dalam kesejahteraan. Ini sangat penting karena
bagi Ono Niha keharmonisan hubungan, apalagi dengan leluhurnya (allahnya)
sangat penting agar lepas dari berbagai penyakit dan bencana, serta memperoleh
berkat dalam kehidupan di dunia ini. Mendapatkan berkat adalah tujuan hidup. Berkat yang dimaksud adalah Lakhömi, yakni kekayaan,
keturunan, dan kehormatan serta terlepas dari berbagai kutukan. Untuk
mendapatkan Lakhömi maka Ono Niha menjaga hubungan dengan para dewa dan
leluhur pada satu sisi, dan dengan masyarakat pada sisi lain, dan untuk itulah
maka sepanjang hidup Ono Niha, mulai dari “sebelum kelahiran hingga sesudah kematian” dijalani dengan
ketaatan pada religi dan kepercayaannya serta pada adat-istiadat.
Bila melakukan analisa tentang
Adat-istiadat di selingkaran hidup di Nias tampak sangat menekankan bagaimana
supaya sistem hidup yang dibawa di negeri asal leluhur, dan itu harus terus
dipelihara dan diwariskan, di tengah realitas berhadapan dengan masyarakat lain
dengan kebudayaannya sendiri. Perjumpaan itu, di satu sisi, memperlihatkan
eksklusifisme terhadap kebudayaan yang sudah mengakar. Oleh karena itu,
kelahiran anak laki-laki dalam keluarga sangat penting, sebagai famatohu
nga’õtõ (penerus keturunan); pemberian nama menjadi urusan para pemimpin
kampung; bahkan ada upacara lainnya, yakni: mengasah gigi sebagai tanda-tanda
bagi anak-anak kaum bangsawan; menjalani ritus-ritus tertentu seperti mengasah
gigi, sunat, menikah, dan menyelenggarakan pesta-pesta jasa tahap-tahap menuju
kedewasaan sosial; memahami kematian sebagai jalan untuk kembali ke negeri
asal. Sikap eksklusif itu adalah oroisa (amanah), sehingga ketika tidak
dilaksanakan dapat menimbulkan amarah/kutukan
dari para leluhur.
Persoalan yang muncul kini ialah
bahwa adat-istiadat Nias telah banyak mengalami perobahan, baik karena
perjumpaan dengan suku-bangsa lain, dengan agama-agama, dengan modernisasi dan
globalisasi. Unsur-unsur adat yang berkaitan dengan agama suku dulunya, banyak
digantikan oleh agama-agama, terutama oleh Kristen. Namun, nilai-nilainya masih
saja hidup.
3.1.5
Kearifan Lokal
dalam “Penataan Sistem Kemasyarakat”
Jauh sebelum Indonesia Merdeka dan
membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah ada kelompok sosial di
kepulauan Nias yang terorganisir dalam sebuah desa yang disebut Banua, dan Öri
sebagai koalisi dari beberapa desa. Penataan kehidupan dalam “Banua”, baik
menyangkut system pemerintahan, system mata pencaharian, system religious,
system kekerabatan dan kemasyarakatan, dan lain sebagainya – dilakukan
berdasarkan unsur dan nilai kebudayaan setempat, yakni Kebudayaan Nias. Untuk
menciptakan kehidupan yang harmoni, damai dan sejahtera, masyarakat Nias
menerapkan system stratifikasi-demokratis dengan tetap mengedepankan
prinsip keadilan dan kebenaran (dengan symbol Afore (ukuran babi), Lauru
(Ukuran beras/padi) dan Fali'era (Timbangan).
Prinsip tersebut di atas menjiwai
bentukan hukum adat yang tertuang dan terangkum dalam Fondrakö. Menurut
S.W. Mendrofa9 bahwa Fondrakö tersebut memiliki banyak pengertian, yakni:
lambang kepercayaan Ono Niha, lambang hukum perekonomian Ono Niha, lambang seni
dan budaya Ono Niha, lambang Tata Hukum pemerintahan tradisional Ono Niha dan
lambang persatuan atau hubungan sosial Ono Niha. Menurutnya bahwa dasar
Fondrakö adalah: Fo´adu (mengkultus suatu dzat sebagai tumpuan
kepercayaan, dan dinyatakan dalam menyembah Adu), Fangaso (tata aturan
pemilikan yang diatur dalam Fondrakö), Foharahao-hao (adat yang menyangkut pribadi dan
tata kemasyarakatan), Fobarahao (cara menyusun pemerintahan) dan Böwö
Masi-masi (etika saling mengasihi). Jadi Fondrakö adalah budaya dan
sekaligus "agama" yang terdapat di setiap banua atau Öri, sehingga
terdapat "keragaman" atau "variasi" Fondrakö bagi orang
Nias. Bertolak dari dasar Fondrakö tersebut di atas, maka pokok-pokok yang
dibahas, dimusyawarahkan dan disyahkan dalam Fondrakö menyangkut
adat-istiadat, yakni: (1) huku sifakhai ba mboto niha (hukum yang
menyangkut kesejahteraan tubuh manusia), (2) huku si fakhai ba gokhöta niha (hukum
yang menyangkut keterjaminan hak atas harta milik manusia), (3) huku
sifakhai ba rorogofö sumange (hukum yang menyangkut kehormatan manusia).
Dari penjelasan tersebut terlihat
bahwa kepulauan Nias sebagai bagian Nusantara telah memiliki kearifan lokal
menata kehidupan bersama dalam “Banua” berdasarkan pandangan hidupnya, yakni
kebudayaan setempat. Namun, sistem tersebut mengalami kegoncangan dan perobahan
terutama sejak pemerintah Kolonial Belanda, Jepang, NKRI dan juga interaksi
dengan agamaagama yang datang dari luar. Pada pihak lain, Fondrako yang justru
mendapat tempat strategi dalam penataan kehidupan masyarakat, tidak berjalan
lagi sebagaimana mestinya, karena pada tahun 1914, pemerintah kolonial Belanda
melarang melaksanakan upacara Fondrako, dan diarahkan untuk mengikuti “Hukum
Adat Kristen di Nias” yang dibuat oleh kerjasama kolonial dan misionaris.
3.1.6
Kearifan Lokal
dalam “Sistem Mata Pencaharian”
Walaupun ribuan tahun yang lalu, masyarakat menggantungkan
diri pada alam (al. Buah-buahan seperti kelapa,dll), namun pada abad-abad ke-11
dan terutama pada abad ke-17, sudah mulai ada kopra walaupun masih sangat
terbatas. Tetapi ketika missionaris tiba, sistem pencaharian masyarakat sudah tertata
dalam 4 bidang, yakni:
a)
Berburu (Sökha, laosi, nago, böhö). Pekerjaan ini terkait dengan
sistem kepercayaan. Mereka meyakini bahwa pemilik binatang yang ada di hutan
adalah BELA. Oleh karenanya, dalam melaksanakan perburuan selalu didasarkan pada
pemberian persembahan kepada Bela, dan di tempat pelaksanaan ritus tersebut
ditempatkan siraha sebagai simbol illah yang dipercayai. Kegiatan berburu ini
dilaksanakan secara perorangan, tetapi umumnya dengan kelompok. Dalam kegiatan kelompok ini sudah ditetapkan
dalam musyarawah adat tentang sistem kepemimpinan, sistem pembagian kerja dan
sistem pembagian hasil, termasuk sistem bertabu (famoni). Sistem dan
nilai ini masih hidup sampai sekarang, dimana “jasa” setiap orang didasarkan
pada peran yang telah dilaksanakannya.
b)
Bertani. Selain kelapa yang umumnya banyak tumbuh di tepi pantai,
pada abad ke-17masyarakat Nias sudah mengenal sistem bertani ladang17, dan baru
pada abad 18/19 berkembang sistem pertanian sawah. Walaupun pada zaman dahulu
penggarapan tanah didasarkan pada kemampuan seseorang, namun pada perkembangan
kemudian ditata kepemilikan tanah dengan sistem tanah adat. Demikian juga
sistem bertanam: waktunya (mamaigi bawa dalu mbanua18), jenis tanaman,
cara mengerjakan dengan sistem falulusa,
atau fatanö luo disepakati dalam sistem adat. Kegiatan bertanipun
juga memiliki dimensi religious. Masyarakat percaya bahwa padi ada pemiliknya (sibaya
wakhe) dan oleh karenanya, agar tanaman tidak dirusak oleh roh-roh jahat
ataupun hama dan tikus serta diberkati oleh dewa pemilik tanaman, maka
dilakukan ritus-ritus (al. pesta Saho, ritus pada adu dan berbagai famoni).
c)
Beternak. Salah satu ternak piaraan masyarakat Nias yang lama ada
dan menjadi tradisi adalah ternak babi. Ini sangat penting, terutama dalam kebutuhan
adat-istiadat, dan juga untuk kepentingan persembahan dalam ritus-ritus agama lama.
Dahulu, cara berternak babi ini dilaksanakan dengan cara mo’arö göli (memagar
kebun dengan bambu, lalu ternak babi dalam jumlah banyak dilepas dalam kebun
yang telah pagar tersebut antara 4-6 bulan hingga makanan, yakni daun ubi dan
ketela di kebun tersebut habis). Setelah kebun ditanami dengan tanaman keras,
barulah sistem kandang di belakang rumah dikembangkan. Dahulu, pekerjaan ternak
inipun memiliki dimensi religious. Diyakini bahwa ada illah pemilik ternak
piaraan, yakni Sobawi. Oleh karenanya, dahulu agar babi berkembang biak
dan bertumbuh cepat, dilakukan ritus-ritus melalui adu, dan kegiatan famoni.
Apabila usaha ini berhasil, maka umumnya dahulu masyarakat Nias
melaksanakan pesta (owasa), apakah itu perkawinan ataupun pesta penaikkan
status sosial (bosi). Jadi, bagi orang Nias dahulubekerja memiliki goal sosial,
dan memang bukan berpikir ekonomis dengan prinsip pelipatgandaannya.
d)
Nelayan. Hanya masyarakat yang berada di pinggir laut yang umumnya
bekerja sebagai nelayan. Di pulau Nias, dahulu umumnya ini dilakukan oleh
pendatang (minang, aceh), baru kemudianlah ada orang Nias yang bekerja sebagai
nelayan. Namun di kepulauan Batu, masyarakat sudah lama bekerja mencari
kebutuhan di laut19. Sedangkan masyarakat di pedalaman, hanya mengenal usaha
mencari ikan di sungai sebagai lauk pauk. Mereka memahami bahwa ada pemilik isi
sungai, yakni: Tuha Zangaröfa. Oleh karenanya, kalau mereka berkehendak
mencari ikan di sungai, maka dilakukan tabu dan ritus agama lama. Dengan
sistem mata pencaharian tersebut di atas, maka Ono Niha berusaha mempertahankan
hidupnya, dan bahkan menata kehidupan dengan pendidirian rumah dan megalith,
perkawinan, pesta (owasa), dan pembelian barang-barang jualan yang dahulu
datang dari para pedagang Minang, Aceh dan China (seperti emas, perak,
kuningan, dan sebagainya). Pengalaman-pengalaman keberhasilan dan kegagalan
dalam mencari nafkah ini, telah melahirkan kearifan yang diwarisi
turun-temurun seperti: kesehatian
dalam berburu, keadilan dalam membagi hasil buruan, penentuan waktu dalam
bertani dengan melihat kalender “bawa dalu mbanua”, dan pendasaran semua
kegiatan dalam ketaatan pada upacara keagamaan (walaupun waktu itu
dengan agama suku). Bahkan pengalaman kebersamaan, seperti falulusa, fatano
luo, atau halowo zato telah menjadikan sebagai falsafah hidup yang digunakan
hingga sekarang, seperti: “Aoha Noro
nilului wahea, aoha noro nilului waoso, alisi tafadayadaya, hulu tafaewolowolo”.
3.1.7
Kearifan Lokal
dalam Sistem Kepercayaan Asli
Sebelum datangnya agama Kristenan, Islam, Hindu, dan
Buddha ke Pulau Nias dan Pulaupulau Batu, orang Nias sebagai salah satu suku
yang tergolong tua telah memiliki sistem kepercayaan tersendiri. Para peneliti,
menyebut agama asli Nias dengan istilah “penyembah ruh” atau Agama Pelebegu atau Penyembah Patung (Molohe
Adu). Ada juga yang menyebut sebagai
penyembah dewa-dewa.
Saya tidak mengulas secara mendalam
sistem kepercayaan Nias disini, tetapi yang jelas melalui mitos dikenal
dewa-dewa dunia atas dengan nama Teteholi Ana’a (Lowalangi, Sihai, atau di Nias
Selatan dikenal Inada Samihara Luo, dan PP. Batu dikenal Inada Dao),
dan dewa-dewi dunia bawah (lature danö atau Bauwa danö). Dikenal juga dewa
yang sangat jahat yakni Nadaoya dan Afökha dan berbagai dewa
rendah (roh halus) yang disebut "bekhu", yakni: Bekhu Gatua (hantu
hutan), Bekhu Dalu Mbanua (Roh yang bergentayangan di langit); Zihi (hantu
laut), Simalapari (hantu sungai), Bela (hantu yang berdiam di
atas pohon, pemilik semua binatang di hutan), Matiana, roh wanita yang
mati ketika melahirkan bayi, lalu roh ini menjadi pengganggu para wanita yang
mau melahirkan; Tuha zangarofa (penguasa ikan di sungai), Salöfö,
yakni roh orang yang pandai berburu, dan berbagai
roh jahat yang tinggal di gua, yang tinggal pohon besar, sungai dan muara
sungai, dan Ono Niha juga takut dan menghormat roh nenek moyang atau sering
disebut “malaika zatua”.
Semua roh-roh halus tersebut
ditakuti oleh Ono Niha dan mereka berusaha menghindarinya dengan menaati tabu (famoni)
atau menenangkannya melalui ritus-ritus penyembahan. Berdasarkan itulah
misionaris Wagner dengan pandangan yang sedikit negatif menyimpulkan bahwa poros
agama asli Nias adalah ketakutan. Segala sesuatu yang dilakukan oleh
masyarakat Nias dalam kehidupannya tidak jauh dari hal-hal yang berkaitan
dengan kepercayaan mereka. Apa yang mereka percayai, turut mempengaruhi
tindakan mereka, sehingga ketika melakukan sesuatupun mereka harus melihat hari
baik, dan agar mereka terhindar dari segala macam pernyakit yang diakibatkan
oleh roh jahat, mereka memakai jimat-jimat agar kebal. Ada hari-hari mujur dan
hari-hari tidak mujur untuk membangun rumah, untuk menanam padi, untuk
perkawinan, dan selanjutnya. Ada jimat-jimat yang membuat kekebalan sehingga
tidak dapat melukai, dan lain-lain. Semua
ini merupakan upaya
mengindari ancaman roh-roh tersebut. Lebih dari itu, untuk menjaga keserasian
hidup dan kelangsungan hidup alam
semesta, masyarakat Nias harus memberikan persembahan-persembahan kepada dewa-dewa. Di sinilah Ere (imam)
berfungsi melaksanakan ritus-ritus memberi persembahan melalui Adu sebagai
media. Itulah sebabnya ada banyak adu (patung) di Nias pada waktu
misionaris datang, dan mereka mengatakan bahwa musuh utama dari misi adalah adu
dan oleh karenanya harus dihancurkan oleh kekuatan Salib Kristus.
3.1.8
Kearifan Lokal
dalam “Menghadapi Ancaman dan Bencana”
Dalam kosmologi Ono Niha dipahami bahwa kosmos ini terdiri
dari dunia atas (yang dipimpin oleh Lowalangi) dan dunia bawah yang dipimpin
oleh Lature Danö. Dalam mitos digambarkan bahwa Lature dano
berbentuk “naga” yang menopang Tanö Niha ini dari bawah. Dipahami bahwa gempa
terjadi karena Lature Danö sudah lelah menopang bumi ini, sehingga ia
menggoyangnya, dan itulah gempa bumi. Itulah sebabnya kata-kata yang keluar
dari sebagian orang pada waktu gempa: “Biha tuha”, artinya:
“Masih Kuat Sesembahan kami”. Diharapkan dengan kata-kata itu Lature Danö
semangat lagi memikul bumi Nias ini.
Terlepas dari pemahaman tersebut,
satu hal penting yang merupakan kearifan lokal masyarakat Nias bahwa untuk
menghadapi ancaman dan bencana, maka banua umumnya dibangun di atas pebukitan
(menghindari musuh), dan melakukan pembangunan rumah yang mampu bertahan
apabila ada gempa, sehingga muncul ungkapan: “Andrö wa so gehomo, andrö wa
so ndriwa, tendrora afu lö aso’a.” Itulah rumah adat Ono Niha. Sayangnya,
tidak banyak yang memeliharanya, dan sekarang lebih banyak rumah beton, dan
setelah gempa 2005, banyak yang membangun fondasi yang kuat, dan atap dengan
rangka baja. Kesiagaan terhadap bencana ini merupakan “nilai dari kearifan
lokal”.
3.1.9
Kearifan Lokal
dalam Seni
Di samping itu
masyarakat Nias juga banyak memiliki corak kebudayaan diantaranya Omo ni Oniha
(Rumah Adat), Maena (Tarian) seperti Tari Moyo (Rajawali), tari mogaele,
(Baluse) tari Perang dan lain-lain.
a) Hombo Batu (Lompat Batu) yaitu tradisi
yang dilakukan oleh seorang pria yang mengenakan pakaian adat Nias dan meloncati
susunan batu yang setinggi lebih dari 2 (dua) meter. Ajang tersebut diciptakan
untuk menguji fisik dan mental para remaja pria Nias menjelang usia dewasa yang
akan ikut berperang melawan penjajah karena pertahanan musuh sangat kuat jadi
untuk memasuki area musuh tidak selalu mudah apalagi untuk mengalahkannya sebab
di beberapa wilayah,
musuh memiliki kubu pertahanan yang sangat kuat di antara beberapa titik yaitu
bambu runcing yang merupakan benteng pertahanan, sehingga dengan ketangkasan
para leluhur melalui latihan lompat batu dengan penuh semangat dan percaya diri
sehingga kubu pertahanan musuh dapat di lalui dengan lompatan yang sangat
tinggi, dan akhirnya benteng pertahanan musuh menjadi rubuh dan setelah itu
musuh di kalahkan. Setiap lelaki dewasa yang ikut perang wajib lulus ritual
lompat batu.
Batu yang harus
dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian atas
datar. Tingginya tidak kurang dari 2 (dua) meter dengan lebar 90 centimeter
(cm) dan panjang tolakan dari permukaan tanah 60 cm. Para pelompat tidak hanya
sekedar harus melintasi tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki
teknik seperti saat mendarat, karena jika dia mendarat dengan posisi yang salah
dapat menyebabkan cedera otot atau patah tulang.
b) Maena(Tari).
Maena adalah
sebuah tarian yang sangat simpel dan sederhana, tetapi mengandung makna
kebersamaan, kegembiraan, kemeriahan, yang tak kalah menariknya dengan
tarian-tarian yang ada di Nusantara. Dibandingkan dengan tari moyo, tari
baluse/tari perang (masih dari Nias), maena tidak memerlukan keahlian khusus.
Gerakannya yang sederhana telah membuat hampir semua orang bisa melakukannya.
Kendala atau kesulitan satu-satunya adalah terletak pada rangkaian
pantun-pantun maena (fanutunõ maena), supaya bisa sesuai dengan event dimana
maena itu dilakukan. Pantun maena (fanutunõ maena) biasanya dibawakan oleh satu
orang atau dua orang dan disebut sebagai sanutunõ maena, sedangkan syair maena
(fanehe maena) disuarakan oleh orang banyak yang ikut dalam tarian maena dan disebut
sebagai sanehe maena/ono maena. Syair maena bersifat tetap dan terus
diulang-ulang/disuarakan oleh peserta maena setelah selesai
dilantunkannya pantun-pantun maena, sampai berakhirnya sebuah tarian maena.
Pantun maena dibawakan oleh orang yang fasih bertuntun bahasa Nias
(amaedola/duma-duma), namun seiring oleh perkembangan peradaban yang canggih
dan modern, pantun-pantun maena yang khas li nono niha (bahasa asli Nias) sudah
banyak menghilang, bahkan banyak tercampur oleh bahasa Indonesia dalam penuturannya,
ini bisa kita dengarkan kalau ada acara-acara maena dikota-kota besar. Maena
boleh dibilang sebuah tarian seremonial dan kolosal dari Suku Nias, karena
tidak ada batasan jumlah yang boleh ikut dalam tarian ini. Semakin banyak
peserta tari maena, semakin semangat pula tarian dan goyangan (fataelusa)
maenanya.
Maena biasanya
dilakukan dalam acara perkawinan (fangowalu), pesta (falõwa/owasa/folau õri),
bahkan ada maena Golkar pada pemilu tahun 1971, menandakan betapa tari maena
sudah membudaya dan fleksibel, bisa diadakan dalam acara-acara apa saja. Tidak
salah lagi maena merupakan tarian khas yang mudah dikenali dan dilakukan oleh
ono niha maupun oleh orang diluar Nias yang tiada duanya dengan tarian
poco-poco (Sulawesi) atau tarian Sajojo (Irian), yang telah memperkaya panggung
budaya nasional. Di Nias maupun di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan,
Batam, Surabaya, Bandung, Padang, Sibolga, sering dijumpai maena pada acara
pernikahan orang-orang Nias. Maena, tari moyo, tari baluse, hombo batu, li
niha, amaedola adalah merupakan kekayaan budaya ono niha yang seharusnya terus
berkembang.
c) Amaedola, Hoho & Hendri-hendri serta Manomano (Cerita
yang Berkembang di Masyarakat)
Kearifan tentang
bagaimana falsafah hidup masyarakat nias dalam menjani kehidupan, baik
menyangkut kharakter pribadi, maupun dalam hubungan dengan orang lain dan
hubungan dengan masyarakat luas –
semua dapat dilihat nilai-nilainya dalam Amaedola, Hoho &
Hendri-hendri serta Manomano.
Contoh :
Nasihat Tentang :
|
Amaedola (kata-kata penyemangat)
|
Kerjasama/kesatuan
|
Aoha noro nilului
wahea, Aoha noro nilului waoso Alisi tafadayadaya, Hulu tafaewolowolo
|
Kepemimpinan
|
Taria fadoli fa lö
alulu, Taria fo’alulua fa lö aetu
|
Nasihat tentang :
|
Hendri-Hendri (Pantun Nias)
|
|
Saling Menghormati
dengan cara
berpantun dimana yang satu merendahkan diri dan memuji yang lain, demikian
sebaliknya.
|
Sowato (tuan rumah)
|
Ae ba no tabe’e nafo
ba danga domeda, ba ma õwai afo manõ, ha leu-leu dawuo danõ, ayau wa’ebolo
dõdõ amagu sotõi ya’ugõ, hekeni ba ……..he
|
Tome (tamu)
|
Ae ba no tatema
nafo, silagae … ae ba danga
zowatõ, ba maõwai
afo manõ…. fõfõ nafo ndrundrutanõ,…. si fao me lafailõ mbõwō……. raya ba mboto
mazingõ, hekeni ba……..he
|
|
Sowato (tuan rumah)
|
Rakõ- rakõ dõi sa
dawuo, ha leu- leu dawuo danõ. Hatõ balazi ndrau’gõ, na’õ bali’õ tawuo lanõ.
|
|
Tome (tamu)
|
Ba notatema nafo
moroi ba danga zowatõ ami gulo nidanõ, dõhõ wa’owõkhi dõdõ
|
|
Sowato (tuan rumah)
|
Ae ba fino sagoli,
ae ba tawuo si sagõrõ hatõ balazi ndraugõ na’õ fatutu ngahõnõ.
|
|
Tome (tamu)
|
Falõ’õ- lõ’õ
zowanua, falõ’õ- lõ’õ zowatõ, ba no siwa tawõla tõ ha ngao- ngao wa’alõ’õ.
Dst....
|
d) Omo Hada (Rumah Adat )
Dulu omo hada
(rumah adat) oleh masyarakat Nias digunakan sebagai lambang kekayaan
pemiliknya. Selain sebagai tempat tinggal, di dalam rumah ini bangsawan
pemiliknya berhak melakukan pertemuan dan acara adat. Acara adat dimaksud dapat
berupa upacara pengukuhan raja (owasa famaho bawi soya), upacara menguji
kekuatan rumah raja (famoro omo), dan pesta pembuatan rumah baru (famaluaya
tuha nomoa). Dengan demikian, omo hada merupakan titik sentral setiap kegiatan
yang melibatkan adat istiadat. Peralihan zaman membuat fungsi omo hada berubah
menjadi rumah pertemuan biasa, dan sebagai gantinya balai desa menjadi titik
pertemuan.
3.1.10
Bahasa
Bahasa Nias, atau Li Niha dalam bahasa
aslinya, adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di Pulau Nias. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih belum
diketahui persis dari mana asalnya.
Bahasa Nias merupakan
salah satu bahasa dunia yang masih bertahan hingga sekarang dengan jumlah
pemakai aktif sekitar setengah juta orang. Bahasa ini dapat dikategorikan
sebagai bahasa yang unik karena merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang
setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal.Bahasa Nias mengenal enam huruf
vokal, yaitu a,e,i,u,o dan ditambah dengan ö (dibaca dengan "e"
seperti dalam penyebutan "enam" ).
3.2 PENERAPAN KEARIFAN
LOKAL
Marilah kita lihat
bagaimana kedudukan kearifan lokal dalam perkembangan kultur lokal pada masa
kini. Sejarah perkembangan kearifan lokal telah menorehkan catatan penting
bahwa kebijakan berperan penting dalam membangun kemasyarakatan. Oleh karenanya
kearifan lokal sudah seharusnya dijaga dan dilestarikan oleh segenap bangsa
dan negara baik seseorang maupun kelompok masyarakat tertentu. Dengan demikian
maka akan berlangsungnya penerapan atau pempraktikan kearifan lokal akan
berjalan dengan baik.
Masyarakat
Nias sebagian besar masih memegang teguh kearifan lokal seperti contoh di atas
mereka masih menjalankan budaya leluhur dengan tetap melaksanakan kaidah yang
telah di terapkan semenjak dahulu tanpa melakukan adanya perubahan.
Namun
demikian, demi kelanjutan cita-cita negara Republik Indonesia yang bersatu,
demokratis, bebas, adil, dan mengakui Hak azazi dan hak sosiokultural setiap
individu maupun kelompok, maka upaya penerapan Kearifan lokal ini seyogyanya
dilaksanakan dalam konteks masyarakat multikultural Indonesia. Dalam masyarakat
multikultural, kearifan lokal kiranya berperan penting dalam melestarikan
kebudayaan daerah.
Nias
adalah salah satu suku bangsa yang masih memegang teguh kearifan lokal
sekaligus berperan penting dalam memberi arah yang mampu memfungsikan diri
sebagai suku yang memiliki prinsip kebijakan dalam pemenuhan sistem
kemasyarakatan. Baik agama, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, bahasa , dan
komunikasi.
BAB IV
PENUTUP
4.1
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka dapat kita
tarik kesimpulan bahwa kearifan lokal sangat mendukung perkembangan budaya.
Karena tanpa dukungan kearifan lokal perkembangan kebijakan tidak mungkin
sampai pada tujuannya yaitu mensejahterakan kehidupan manusia dalam bermasyarakat.
Karena dengan kearifan lokal manusia dituntun untuk mengembangkan kebijakan
secara bijak dan baik. Jika kearifan lokal yang dikembangkan tidak didasarkan
pada ilmiah maka yang terjadi banyak kebijakan sulit untuk diterima dari
rasional manusia, dan malah akan menjerumuskan manusia. Sehingga perkembangan
dan penerapan kearifan lokal tidak boleh berjalan sendiri-sendiri melainkan
harus saling berkoordinasi.
Secara ontologi, hakikat
antara kearifan lokal dengan kaidah kebijakan bahwa kearifan lokal sebagai
kendali dari penggunaan kebijakan agar budaya tersebut dapat bermanfaat bagi
kehidupan manusia. Dalam penerapannya kearifan lokal harus berlandaskan kebijakan
bersama di suatu daerah. Setiap daerah di indonesia memiliki kearifan lokal
yang berbeda, seperti kearifan lokal di pulau nias. Kita sebagai generasi
penerus seharusnya bangga memiliki kearifan lokal daerah yang beragam, bukan
cenderung melupakan kearifan lokal yang saat ini di anggap sebagai hal yang
kuno atau tidak penting.
4.2
SARAN
Masyarakat Nias merupakan masyarakat yang
kaya akan kearifan lokal dan kebudayaan daerah yang melimpah. Hal ini tentunya
haruslah diberdayakan dan dikembangkan. Kearifan lokal Nias ini masih belum
dikenal luas. Oleh karena itu, dukungan dari pemerintah sangatlah penting serta
kerjasama dari berbagai pihak terkait dan masyarakat luas juga tentunya.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat, 2009. Pengantar Ilmu
Antropologi. Jakarta: PT Rineka Citra
Amri Marzali, 2009. Antropologi dan Pembangunan
Indonesia. Jakarta: Kencana
Miriam Budiarjo, 2008. Dasar-Dasar Ilmu
Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
2011, (
http://id.wikipedia.org/wiki/Nias. Diakses tanggal 15 Desember 2012 jam
18:00)
Garang. 2007. Membangun
Harapan Menapaki Masa Depan (Studi tentang
Perubahan Sosial dan Kultural).
Jakarta: YTBI.
kami sekeluarga tak lupa mengucapkan puji syukur kepada ALLAH S,W,T
BalasHapusdan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor togel.nya yang AKI
berikan 4 angka <<< 9749 >>> alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus AKI.
dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu AKI. insya
allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
sekali lagi makasih banyak ya AKI… bagi saudara yang suka main togel
yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi AKI SOLEH,,di no (((082-313-336-747)))
insya allah anda bisa seperti saya…menang togel 275
juta, wassalam.
dijamin 100% jebol saya sudah buktikan...sendiri....
Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!
1"Dikejar-kejar hutang
2"Selaluh kalah dalam bermain togel
3"Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi togel
4"Anda udah kemana-mana tapi tidak menghasilkan solusi yg tepat
5"Udah banyak Dukun togel yang kamu tempati minta angka jitunya
tapi tidak ada satupun yang berhasil..
Solusi yang tepat jangan anda putus asah....AKI SOLEH akan membantu
anda semua dengan Angka ritwal/GHOIB:
butuh angka togel 2D 3D 4D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin
100% jebol
Apabila ada waktu
silahkan Hub: AKI SOLEH DI NO: (((082-313-336-747)))
KLIK DISINI-2D-3D-4D-5D-6D-
angka GHOIB: singapur 2D/3D/4D/
angka GHOIB: hongkong 2D/3D/4D/
angka GHOIB; malaysia
angka GHOIB; toto magnum 4D/5D/6D/
angka GHOIB; laos
..(`’•.¸(` ‘•. ¸* ¸.•’´)¸.•’´)..
«´ 082_313_336_747_ ¨`»
..(¸. •’´(¸.•’´ * `’•.¸)`’•.¸ )..
KAMI SEKELUARGA TAK LUPA MENGUCAPKAN PUJI SYUKUR KEPADA ALLAH S,W,T
BalasHapusdan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor yang AKI
beri 4 angka [0123] alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus .
dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu KI. insya
allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
sekali lagi makasih banyak ya AKI? bagi saudara yang suka PASANG NOMOR
yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi KI JAYA,,di no (((085-321-606-847)))
insya allah anda bisa seperti saya?menang NOMOR 450 JUTA ,
PESUGIHAN DANA GAIB
PESUGIHAN UANG BALIK
DAN PESUGIHAN TUYUL