Kamis, 14 Juli 2016

Social Work Mix Model for Indonesia Inclusive Disability



Justin Foera-era Lase

A.    DASAR PEMIKIRAN
      Indonesia sebagai negara yang beranekaragam, tidak akan pernah terlepas dari berbagai macam masalah sosial, meskipun Indonesia telah merdeka hampir 71 tahun, akan tetapi masalah sosial di Indonesia selalu bertambah. Masalah sosial merupakan kondisi yang tidak diinginkan karena mengandung unsur-unsur yang dianggap merugikan baik dari segi fisik maupun nonfisik bagi kehidupan bermasyarakat. Lebih dari itu, masalah sosial sering juga mengandung unsur yang dianggap merupakan pelanggaran dan penyimpangan terhadap nilai, norma dan standar sosial tertentu.

Masalah-masalah sosial tersebut dapat memberikan dampak bagi masyarakat Indonesia dari berbagai bidang, baik itu Ekonomi, Sosial, Politik, dan Budaya masyarakat. Dampak yang ada dari masalah sosial berpengaruh pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Terbukti dengan adanya 26 jenis Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Sosial No 08 tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial, dan masih banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak dapat melaksanakan peran sesuai statusnya.

Penyandang disabilitas merupakan salah satu jenis permasalahan sosial yang ada di Indonesia saat ini, populasi penyandang disabilitas secara kuantitas cenderung meningkat dan diperkirakan akan terus meningkat karena berbagai sebab seperti, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan di pabrik (tempat kerja), efek samping dari obatan-obatan, gizi yang buruk, gaya hidup dan sebagainya. Berbagai permasalahan yang ada, seperti kurangnya perhatian masyarakat terhadap pelayananan dan rehabilitasi penyandang disabilitas, terbatasnya fasilitas untuk tempat pelayanan dan rehabilitasi, terbatasnya tenaga profesional pelayanan dan rehabilitasi sosial penyandang disabilitas dan rendahnya pendidikan dan ekonomi, masih dirasakan oleh sebagian besar penyandang disabilitas.

Pekerja sosial merupakan suatu profesi yang professional dan dirasakan mampu memecahkan permasalahan yang dialami oleh para penyandang disabilitas. Pekerja sosial yang didasarkan pada pengetahuan, ketrampilan dan nilai akan sangat bisa menjadi maestro dan profesi terdepan dalam menangani penyandang disabilitas. Nilai-nilai yang dimiliki oleh pekerja sosial sangat relevan dalam proses penanganan disabilitas.

Pekerja sosial dengan kerangka pengetahuan, memiliki banyak model-model dalam menangani penyandang disabilitas. Model-model penanganan disabilitas dimuat dalam banyak buku pekerja sosial yang kemudian di sesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan penyandang disabilitas di lapangan khususnya di Indonesia. Rencana Aksi Nasional dalam membuat Indonesia inklusif disabilitas akan sangat mudah dicapai dengan profesi pekerjaan sosial yang dilibatkan dengan dibuatnya sistem yang mendukung pelaksanaan praktek pekerjaan sosial.

Banyaknya permasalahan yang dialami oleh penyandang disabilitas di Indonesia, sehingga dibutuhkan penanganan yang komprehensif. Jika penanganan hanya didasarkan pada satu sudut pandang saja maka, permasalahan penyandang disabilitas tidak terselesaikan hingga ke akar-akarnya. Sekali lagi pekerja sosial merupakan profesi terdepan dalam menyelesaikan permasalahan disabilitas cukup kompleks ini

Menurut penulis, pekerja sosial membutuhkan model penanganan gabungan (mix model) dalam menangani penyandang disabilitas. Mix model ini merupakan gabungan dari beberapa model penanganan disabilitas yaitu dimulai dari Model Asesmen Kebutuhan Komunitas (The Community Needs Assesment Model) dilanjutkan dengan Model Pemberdayaan (The Empowerment Model) dan juga ditambahkannya Model Advokasi (The Advocacy Model).

Model Asesmen Kebutuhan Komunitas (The Community Needs Assesment Model) didasari oleh pemikiran penulis bahwa daerah-daerah bahkan setiap desa/kelurahan di Indonesia memiliki karakteritik yang saling berbeda satu dengan yang lainnya. Sehingga pekerja sosial harus melakukan asesmen kebutuhan komunitas/daerah akan penyandang disabilitas di daerahnya. Sehingga program penanganan masalah disabilitas disetiap daerah berbeda dengan daerah lainnya yang mimiliki karekteristik lainnya.

Model Pemberdayaan (The Empowerment Model) didasarkan pada pemikiran penulis bahwa setiap daerah dan juga penyandang disabilitas membutuhkan pemberdayaan. Pekerja sosial harus memberdayakan komunitas dari penyandang disabilitas dan juga harus memberdayakan penyandang disabilitas di komunitas tersebut.

Model Advokasi (The Advocacy Model) dalam menangani disabilitas didasarkan oleh pemikiran penulis bahwa penyandang disabilitas memiliki hak-hak yang tidak terpenuhi. Misalnya saja hak sipil (KTP, Kartu Keluarga, dll) dimana dalam beberapa kasus di Indonesia, hak-hak sipil penyandang disabilitas tidak terpenuhi. Pekerja sosial dalam menangani disabilitas harus bisa melakukan model advokasi ini dalam upaya penangan disabilitas di Indonesia.
   Jika pekerja sosial di Indonesia mampu menggabungkan ketiga model ini dalam menangani penyandang disabilitas di berbagai daerah di Indonesia, maka penyandang disabilitas di Indonesia akan tertangani. Rencana Aksi Nasional akan tercapai. Hak-hak penyandang disabilitas akan terpenuhi. Undang-Undang Disabilitas Nomor 8 Tahun 2016 dapat diaplikasikan bukan hanya sekedar Undang-Undang di kertas saja. Pekerja sosial adalah profesi terdepan dalam menangani disabilitas di Indonesia.

B.     TINJAUAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN REGULASI HUKUM
Perundang-undangan di Indonesia sebenarnya sudah cukup banyak yang mengatur tentang penyandang disabilitas. Akan tetapi tataran penerapan dan pelaksanaannya masih perlu untuk ditinjau. Misalnya saja Undang-Undang Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan (UU No 13 Tahun 2003) dan UU No 19 Tahun 2011 (CRPD) yang tentang hak disabilitas dalam mendapatkan pekerjaan yang masih menjadi bahan renungan bersama bersama dalam mengimplementasikannya dengan baik. Beberapa perundang-undang tentang disabilitas yang berhubungan dengan model yang saya buat ini yaitu:  
  1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
  2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
  3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
  5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
  6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
  7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
  8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional
  9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
  10. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
  11. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
  12. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
  13. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
  14. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
  15. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
  16. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
  17. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas)
  18. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

Hubungan perundang-undangan yang berkaitan dengan disabilitas dengan mix model yang saya rancang ini, adalah berkaitan erat. Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang pengesahan CRPD termuat 26 hak penyandang disabilitas. 26 hak disabilitas ini menjadi suatu sasaran dari pekerja sosial dalam mengimpletasikannya. Pekerja sosial dalam membantu tercapainya hak kesataraan dan nondiskriminasi (pasal 5), hak peningkatan kesadaran (pasal 8), hak hidup (pasal 10), hak penghormatan terhadap privasi (pasal 22), dan hak-hak lainnya. Artinya hak-hak disabilitas dalam UU No 19 tahun 2011 ini dapat dilaksanakan dengan maksimal jika pekerja sosial dilibatkan sebagai suatu profesi yang terdepan dalam menangani penyandang disabilitas di Indonesia.

UU No 19 Tahun 2011 ini berhubungan erat dengan mix model yang saya rancang ini. Model assessment kebutuhan komunitas berhubungan dengan semua hak disabilitas dalam UU ini. Dimana setiap komunitas memiliki kebutuhan yang berbeda-beda dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas di daerahnya masing-masing. Permasalahan yang dialami penyandang disabilitas di setiap daerah berbeda-beda, sehingga pekerja sosial harus melakukan asesmen kebutuhan komunitas dalam upaya pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.

Demikian juga halnya dengan Model Pemberdayaan dan Model advokasi yang berhubungan erat denga UU Nomor 19 Tahun 2011. Pekerja sosial dapat memberdayakan disabilitas dan juga komunitasnya berdasarkan hak-hak disabilitas yang termuat dalam UU ini. Pekerja sosial juga dapat melakukan advkosi (model advokasi) jika-jika hak-hak disabilitas dirasa perlu diadvokasi. Misalnya: Hak Akses Atas Peradilan (pasal 13), hak Pendidikan (pasal 24), Hak Kesehatan (pasal 25), Hak Pekerjaan (Pasal 27), dll; dimana pekerja sosial dapat mengodvakasi pemenuhan hak hak ini baik dalam tataran keluarga, masyarakat, pemerintahan kecamatan, kabupaten, provinsi hinga Kementrian Sosial (pusat).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas yang memuat 22 hak penyandang disabilitas, juka berkaitan erat dengan mix model yang saya rancang ini. Pada intinya, pekerja sosial perlu mengasesmen kebutuhan suatu komunitas, memberdayakan, dan mendadvokasi penandang disabilitas berdasarkan hak-hak yang termuat dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 ini.

Menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 41 ayat 2 menyebutkan bahwa setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus. Menurut UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan Keputusan Menteri Sosial No.82/HUK/2005 tentang Tugas dan Tata Kerja Departemen Sosial menyatakan bahwa focal point dalam penanganan permasalahan penyandang disabilitas di Indonesia adalah Kementerian Sosial RI. Tugas tersebut lebih diarahkan pada upaya pelayanan dan rehabilitasi sosial, yaitu proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang disabilitas mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, kementerian ini juga diberi mandat oleh UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat untuk pemberian bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

Dari beberapa peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan sebelumnya, sangat jelas bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab dalam membantu penyandang disabilitas untuk dapat berfungsi sosial.

Akan tetapi faktanya dimasyarakat, dirasakan bahwa peran pemerintah dalam menanggulangi penyandang disabilitas masih perlu ditinjau. Program-program yang ada dari pemerintah bagi penyandang disabilitas (seperti RBM, ASODK, Rehabilitasi Sosial Keliling) masih perlu dikembangkan dalam hal pemerataan pelayanan. Kurangnya akses dari pemerintahan local, kurangnya sosialisasi, sistem yang tidak pas bisa menjadi penyebab tidak meratanya pelayanan dari pemerintah bagi penyandang disabilitas ini.

Fakta-fakta ini semakin menguatkan bahwa dibutuhkan pekerja sosial dalam menangani disabilitas. Penulis sangat yakin jika disetiap daerah/desa ditempatkan satu pekerja sosial (Kantor Wilayah) maka pelayananan terhadap disabilitas dan juga PMKS lainnya dapat tertangani dengan baik. Pekerja sosial dengan menggunakan mix model ini akan sangat efisien dan efektif dalam menanggulangi permasalahan sosial khususnya penyandang disabilitas di Indonesia.

C.    TINJAUAN LAPANGAN (FACT)
Populasi penyandang disabilitas menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012 adalah sebesar 2,45% (6.515.500 jiwa) dari 244.919.000 estimasi jumlah penduduk Indonesia tahun 2012.

                                                                   Sumber: BPS 2012 (Buletin Disabilitas Kemenkes RI, 2014)
        
Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa penyandang disabilitas mengalai peningkatan pada tahun 2012. Jumlah penyandang disabilitas diperkirakan terus bertambah hingga tahun 2016 ini. Hal ini menjadi perhatian khusus dari pemerintah, khususnya Kementrian Sosial Republik Indonesia yang terus mencari formula dalam menangani penyandang disabilitas. Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM dibuat dalam menangani penyandang disabilitas di Indonesia. Permasalahan penyandang disabilitas yang kompleks menjadi alasan tersendiri, dibutuhkannya proses dalam menangani penyandang disabilitas ini.


                                                        Sumber: Riskesdas Tahun 2013 (Buletin Disabilitas Kemenkes RI, 2014)



                                                             Sumber: Riskesdas Tahun 2013 (Buletin Disabilitas Kemenkes RI, 2014)

Data-data diatas adalah gambaran bagaimana keadaan penyandang disabilitas di Indonesia. Pendidikan yang rendah menjadi gambaran akan penyandang disabilitas di Indonesia. Bahkan berdasarkan data diatas, kebanyakan penyandang disabilitas belum sekolah.

Data diatas juga menyajikan bahwa keadaan penyandang disabilitas di Indonesia yang tidak bekerja. Hal ini tentunya semakin tergambarkan bagaimana keadaan penyandang disabilitas di Indonesia. Padahal peraturan perundang undangan di Indonesia beberapa mengatur tentang hak pekerjaan penyandang disabilitas.

Masalah penyandang disabilitas tidak hanya sampai disitu stigma dari masyarakat di lingkungan sekitar juga menjadi perhatian khusus dalam menangani penyandang disabilitas. Ditambah lagi konsep diri dari penyandang disabilitas yang bersangkutan yang relatif rendah.

Hal ini saya paparkan bukan tanpa alasan fakta. Dari beberapa kali praktek di pekerjaan sosial di beberapa daerah, hal yang demikian selalu dialami oleh penyandang disabilitas. Misalnya sewaktu saya praktek di Desa Legoksari Kecamatan Darangdan Purwakarta Jawa Barat, hal-hal seperti ini memang masih dialami oleh penyandang disabilitas.

Pemerintah dirasakan bukan tanpa aksi dalam menangani penyandang disabilitas. Akan tetapi keterbatasan pemerintah karena faktor wilayah Indonesia yang demikian luas, faktor pendanaan, data disabilitas yang tidak valid tentunya menjadi kendala tersendiri dalam menangani penyandang disabilitas di Indonesia.

Dari beberapa program yang dibuat oleh pemerintah juga masih belum merata dirasakan oleh seluruh wilayah di Republik Indonesia. Misalnya saja RBM (Rehabilitasi Berbasis Masyarakat, ASODK (Asistensi Sosial Orang denga Kedisabilitasan), Unit Pelayanan Rehabilitasi Sosial Keliling (UPRSK) hanya terdengar sepintas di telinga. Begitu juga halnya dengan lokasi pratek saya di Desa Legoksari, dimana program-program ini belum diterima oleh para penyandang disabilitas di Desa Legokasari. Padahal penyandang disabilitas di Desa Legoksari ini terbilang banyak.

Fakta ini membuat saya mengajukan model penanganan pekerja sosial untuk mengusahakan Rencana Aksi Nasional untuk Indonesia Inklusif Disabilitas. Model ini saya namakan mix model, yang merupakan gabungan daru beberapa model pekerjaan sosial penanganan disabitas.

Social work mix model ini pernah saya gunakan waktu saya melaksanakan praktek di Desa Legoksari Kecamatan Darangdan Purwakarta Jawa Barat, dan telah saya adaptasi. Pelaksanaan model ini di lokasi praktek saya terbilang berhasil dan menyentuh segala aspek permasasalahan penyandang disabilitas. Model ini saya buat berdasarkan realitas penyandang disabilitas yang ada di Indonesia.

D.    TINJAUAN TEORITIS TENTANG MIX MODEL
        Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 menyatakan bahwa “Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak”. Pengertian diatas juga sama halnya dengan pengertian yang termuat dalam CRPD.
        Berdasarkan pengertian disabilitas diatas, terlihat bahwa masalah penyandang disabilitas adalah fisiknya yang cacat, lingkungan yang menghambat, dan   hak yang tidak sama. Hal ini juga sama halnya dengan permasalahan yang dialami oleh penyandang disabilitas di Indonesia. sehingga pekerja sosial harus bisa melakukan treatment  atau intervensi dalam berbagai aspek permasalahan yang di alami oleh penyandang disabilitas di Indonesia.
        Menurut Armando T. Morales & Sheafor (1998:385) penyandang disabilitas dapat dilihat sebagai suatu kelompok yang minoritas. Ada 4 kriteria esensial dari kelompok yang minoritas yaitu:
  1. Is identifiable, either interms of appreance or behavior
  2. Experiences less acces to power so that fewer resource, influence dan control are afforded do it
  3. Experience discriminatory treatment, often evidenced by segregation and stereotyping
  4. Sees istself as a separate group

        Berdasarkan pemaparan morales dan sheafor diatas, penyandang disabilitas di Indonesia memang merupakan adalah kelompok yang minoritas. Penyandang disabilitas sering dihambat oleh lingkungannya, tidak punya kekuatan, kekurangan sumber, mengalami diskriminasi, mendapatkan stigma dan seperti terpisah dari kehidupan bermasyarakat. Sehingga dengan demikian dibutuhkan pekerja sosial dengan mix method yang menangani permasalahan disabilitas di Indonesia berdasarkan semua aspek permasalahan yang dialami oleh penyandang disabilitas di Indonesia.
        Berdasarkan pemikiran tersebut, maka saya merancang model intervensi pekerja sosial di Indonesia bagi disabilitas dengan  mix method yaitu dengan menggabungkan Model Asesmen Kebutuhan Komunitas (The Community Needs Assesment Model), Model Pemberdayaan (The Empowerment Model) dan Model Advokasi (The Advocacy Model).

Menurut Kemp (dalam Juliet C. Rothman, 2003:222-223), The Community Needs Assesment Model ini mencakup:
a.      Social work should be an understanding of the community, its unique qualities, and its similarities to othe communities.
b.      A variety of tools be used to assess different dimension and qualities of the community and its needs. Theses method can include  surveys, mailed questionnaires, census data, personal or telephone interviews, observation, and use the focus or other groups.
c.       Assesors both within and without the community should approach the data gathering process with an open mind and willingness to listen and learn
d.      While  needs assessment are of necessity needs focused, it is important to include community strengths and resources in the assessment.

Menurut Lee (dalam Juliet C. Rothman, 2003:211) pekerja sosial dengan individu penyandang disabilitas dalam The Empowerment Model, dapat melakukan 8 hal yaitu:
a.   Utilizing processes and skills that promote coping, adaptation, and/or social change include reflection, thinking and problem sloving.
b.      Increasing motivation through the use of empowering skills and through ensuring that the client’s basic need are met.
c.    Maintaining psychic comfort and self estem to externalize the source of oppression and reduce self blame
d.    Enhancing problem solving and promoting self direction through teaching skills, and the provision of experiential opportunities
e. Utilizing special worker skills, such as consciousness raising and education and practicing in a manner that support equality, symmetry, and parity between worker and client.
f.   Where appropriate, using empowerment skills with groups and communities to promote social change
g.  Assuming a professional stance that includes self awerenes and places the oppression experience as one of the issues to be considered in working with the client.
h. Knowing both clinical processes and methods, as suggested above, and political is essential

Menurut Hepworth, Rooney, and Larsen (dalam Juliet C. Rothman, 2003:212) proses The
Advocacy Model model yaitu:
a.  Obtain needed services and resources
b.  Modify policies, procedures, and practices that negatively impact of clients
c. Promote new legislation or policies to meet client needs



Than,, for shorter, this is my model:







SOCIAL WORKER IS A LEADING PROFESSION FOR DISABILITY

Tidak ada komentar:

Posting Komentar