Justin Foera-era Lase
A.
DASAR PEMIKIRAN
Indonesia
sebagai negara yang beranekaragam, tidak akan pernah terlepas dari berbagai
macam masalah sosial, meskipun Indonesia telah merdeka hampir 71 tahun, akan tetapi
masalah sosial di Indonesia selalu bertambah. Masalah
sosial merupakan kondisi yang tidak diinginkan karena mengandung unsur-unsur
yang dianggap merugikan baik dari segi fisik maupun nonfisik bagi kehidupan
bermasyarakat. Lebih dari itu, masalah sosial sering juga mengandung unsur yang
dianggap merupakan pelanggaran dan penyimpangan terhadap nilai, norma dan
standar sosial tertentu.
Masalah-masalah
sosial tersebut dapat memberikan dampak bagi masyarakat Indonesia dari berbagai
bidang, baik itu Ekonomi, Sosial, Politik, dan Budaya masyarakat. Dampak yang
ada dari masalah sosial berpengaruh pada upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Terbukti dengan adanya 26 jenis Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Sosial No 08 tahun 2012
tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial dan Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial, dan masih banyaknya masyarakat
Indonesia yang tidak dapat melaksanakan peran sesuai statusnya.
Penyandang
disabilitas merupakan salah satu jenis permasalahan sosial yang ada di
Indonesia saat ini, populasi
penyandang disabilitas secara kuantitas cenderung meningkat dan diperkirakan
akan terus meningkat karena berbagai sebab seperti, kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan di pabrik (tempat kerja), efek samping dari obatan-obatan, gizi yang
buruk, gaya hidup dan sebagainya. Berbagai permasalahan yang ada, seperti
kurangnya perhatian masyarakat terhadap pelayananan dan rehabilitasi penyandang
disabilitas, terbatasnya fasilitas untuk tempat pelayanan dan rehabilitasi,
terbatasnya tenaga profesional pelayanan dan rehabilitasi sosial penyandang
disabilitas dan rendahnya pendidikan dan ekonomi, masih dirasakan oleh sebagian
besar penyandang disabilitas.
Pekerja
sosial merupakan suatu profesi yang professional dan dirasakan mampu memecahkan
permasalahan yang dialami oleh para penyandang disabilitas. Pekerja sosial yang
didasarkan pada pengetahuan, ketrampilan dan nilai akan sangat bisa menjadi
maestro dan profesi terdepan dalam menangani penyandang disabilitas.
Nilai-nilai yang dimiliki oleh pekerja sosial sangat relevan dalam proses
penanganan disabilitas.
Pekerja
sosial dengan kerangka pengetahuan, memiliki banyak model-model dalam menangani
penyandang disabilitas. Model-model penanganan disabilitas dimuat dalam banyak
buku pekerja sosial yang kemudian di sesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan
penyandang disabilitas di lapangan khususnya di Indonesia. Rencana Aksi
Nasional dalam membuat Indonesia inklusif disabilitas akan sangat mudah dicapai
dengan profesi pekerjaan sosial yang dilibatkan dengan dibuatnya sistem yang
mendukung pelaksanaan praktek pekerjaan sosial.
Banyaknya
permasalahan yang dialami oleh penyandang disabilitas di Indonesia, sehingga
dibutuhkan penanganan yang komprehensif. Jika penanganan hanya didasarkan pada
satu sudut pandang saja maka, permasalahan penyandang disabilitas tidak
terselesaikan hingga ke akar-akarnya. Sekali lagi pekerja sosial merupakan
profesi terdepan dalam menyelesaikan permasalahan disabilitas cukup kompleks
ini
Menurut
penulis, pekerja sosial membutuhkan model penanganan gabungan (mix model) dalam menangani penyandang
disabilitas. Mix model ini merupakan
gabungan dari beberapa model penanganan disabilitas yaitu dimulai dari Model
Asesmen Kebutuhan Komunitas (The Community Needs Assesment Model) dilanjutkan dengan Model Pemberdayaan (The Empowerment Model) dan juga
ditambahkannya Model Advokasi (The
Advocacy Model).
Model
Asesmen Kebutuhan Komunitas (The Community
Needs Assesment Model) didasari oleh pemikiran penulis bahwa daerah-daerah
bahkan setiap desa/kelurahan di Indonesia memiliki karakteritik yang saling
berbeda satu dengan yang lainnya. Sehingga pekerja sosial harus melakukan
asesmen kebutuhan komunitas/daerah akan penyandang disabilitas di daerahnya.
Sehingga program penanganan masalah disabilitas disetiap daerah berbeda dengan
daerah lainnya yang mimiliki karekteristik lainnya.
Model Pemberdayaan (The Empowerment Model) didasarkan pada pemikiran penulis bahwa
setiap daerah dan juga penyandang disabilitas membutuhkan pemberdayaan. Pekerja
sosial harus memberdayakan komunitas dari penyandang disabilitas dan juga harus
memberdayakan penyandang disabilitas di komunitas tersebut.
Model Advokasi (The Advocacy Model) dalam menangani disabilitas didasarkan oleh
pemikiran penulis bahwa penyandang disabilitas memiliki hak-hak yang tidak
terpenuhi. Misalnya saja hak sipil (KTP, Kartu Keluarga, dll) dimana dalam
beberapa kasus di Indonesia, hak-hak sipil penyandang disabilitas tidak
terpenuhi. Pekerja sosial dalam menangani disabilitas harus bisa melakukan
model advokasi ini dalam upaya penangan disabilitas di Indonesia.
Jika
pekerja sosial di Indonesia mampu menggabungkan ketiga model ini dalam
menangani penyandang disabilitas di berbagai daerah di Indonesia, maka
penyandang disabilitas di Indonesia akan tertangani. Rencana Aksi Nasional akan
tercapai. Hak-hak penyandang disabilitas akan terpenuhi. Undang-Undang
Disabilitas Nomor 8 Tahun 2016 dapat diaplikasikan bukan hanya sekedar
Undang-Undang di kertas saja. Pekerja sosial adalah profesi terdepan dalam
menangani disabilitas di Indonesia.
B.
TINJAUAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN REGULASI HUKUM
Perundang-undangan
di Indonesia sebenarnya sudah cukup banyak yang mengatur tentang penyandang
disabilitas. Akan tetapi tataran penerapan dan pelaksanaannya masih perlu untuk
ditinjau. Misalnya saja Undang-Undang Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan (UU
No 13 Tahun 2003) dan UU No 19 Tahun 2011 (CRPD) yang tentang hak disabilitas
dalam mendapatkan pekerjaan yang masih menjadi bahan renungan bersama bersama
dalam mengimplementasikannya dengan baik. Beberapa perundang-undang tentang
disabilitas yang berhubungan dengan model yang saya buat ini yaitu:
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
- Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas)
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
Hubungan perundang-undangan yang berkaitan dengan disabilitas
dengan mix model yang saya rancang
ini, adalah berkaitan erat. Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang
pengesahan CRPD termuat 26 hak penyandang disabilitas. 26 hak disabilitas ini
menjadi suatu sasaran dari pekerja sosial dalam mengimpletasikannya. Pekerja
sosial dalam membantu tercapainya hak kesataraan dan nondiskriminasi (pasal 5),
hak peningkatan kesadaran (pasal 8), hak hidup (pasal 10), hak penghormatan
terhadap privasi (pasal 22), dan hak-hak lainnya. Artinya hak-hak disabilitas
dalam UU No 19 tahun 2011 ini dapat dilaksanakan dengan maksimal jika pekerja
sosial dilibatkan sebagai suatu profesi yang terdepan dalam menangani
penyandang disabilitas di Indonesia.
UU No 19 Tahun 2011 ini berhubungan erat dengan mix model yang saya rancang ini. Model
assessment kebutuhan komunitas berhubungan dengan semua hak disabilitas dalam
UU ini. Dimana setiap komunitas memiliki kebutuhan yang berbeda-beda dalam
pemenuhan hak penyandang disabilitas di daerahnya masing-masing. Permasalahan
yang dialami penyandang disabilitas di setiap daerah berbeda-beda, sehingga
pekerja sosial harus melakukan asesmen kebutuhan komunitas dalam upaya
pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.
Demikian juga halnya dengan Model Pemberdayaan dan Model
advokasi yang berhubungan erat denga UU Nomor 19 Tahun 2011. Pekerja sosial
dapat memberdayakan disabilitas dan juga komunitasnya berdasarkan hak-hak
disabilitas yang termuat dalam UU ini. Pekerja sosial juga dapat melakukan
advkosi (model advokasi) jika-jika hak-hak disabilitas dirasa perlu diadvokasi.
Misalnya: Hak Akses Atas Peradilan (pasal 13), hak Pendidikan (pasal 24), Hak
Kesehatan (pasal 25), Hak Pekerjaan (Pasal 27), dll; dimana pekerja sosial
dapat mengodvakasi pemenuhan hak hak ini baik dalam tataran keluarga,
masyarakat, pemerintahan kecamatan, kabupaten, provinsi hinga Kementrian Sosial
(pusat).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
disabilitas yang memuat 22 hak penyandang disabilitas, juka berkaitan erat
dengan mix model yang saya rancang
ini. Pada intinya, pekerja sosial perlu mengasesmen kebutuhan suatu komunitas,
memberdayakan, dan mendadvokasi penandang disabilitas berdasarkan hak-hak yang
termuat dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 ini.
Menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 41 ayat 2
menyebutkan bahwa setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita
hamil, dan anak-anak berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus. Menurut
UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan Keputusan Menteri Sosial
No.82/HUK/2005 tentang Tugas dan Tata Kerja Departemen Sosial menyatakan bahwa focal point dalam penanganan
permasalahan penyandang disabilitas di Indonesia adalah Kementerian Sosial RI.
Tugas tersebut lebih diarahkan pada upaya pelayanan dan rehabilitasi sosial,
yaitu proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang
disabilitas mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan
masyarakat. Selain itu, kementerian ini juga diberi mandat oleh UU No. 4 tahun
1997 tentang Penyandang Cacat untuk pemberian bantuan sosial dan pemeliharaan
taraf kesejahteraan sosial.
Dari beberapa peraturan perundang-undangan yang telah
disebutkan sebelumnya, sangat jelas bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab
dalam membantu penyandang disabilitas untuk dapat berfungsi sosial.
Akan tetapi faktanya dimasyarakat, dirasakan bahwa peran
pemerintah dalam menanggulangi penyandang disabilitas masih perlu ditinjau.
Program-program yang ada dari pemerintah bagi penyandang disabilitas (seperti
RBM, ASODK, Rehabilitasi Sosial Keliling) masih perlu dikembangkan dalam hal
pemerataan pelayanan. Kurangnya akses dari pemerintahan local, kurangnya
sosialisasi, sistem yang tidak pas bisa menjadi penyebab tidak meratanya
pelayanan dari pemerintah bagi penyandang disabilitas ini.
Fakta-fakta ini semakin menguatkan bahwa dibutuhkan pekerja
sosial dalam menangani disabilitas. Penulis sangat yakin jika disetiap
daerah/desa ditempatkan satu pekerja sosial (Kantor Wilayah) maka pelayananan
terhadap disabilitas dan juga PMKS lainnya dapat tertangani dengan baik.
Pekerja sosial dengan menggunakan mix
model ini akan sangat efisien dan efektif dalam menanggulangi permasalahan
sosial khususnya penyandang disabilitas di Indonesia.
C.
TINJAUAN LAPANGAN (FACT)
Populasi penyandang disabilitas menurut Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012 adalah sebesar 2,45% (6.515.500 jiwa)
dari 244.919.000 estimasi jumlah penduduk Indonesia tahun 2012.
Sumber: BPS 2012
(Buletin Disabilitas Kemenkes RI, 2014)
|
Berdasarkan gambar
diatas terlihat bahwa penyandang disabilitas mengalai peningkatan pada tahun
2012. Jumlah penyandang disabilitas diperkirakan terus bertambah hingga tahun
2016 ini. Hal ini menjadi perhatian khusus dari pemerintah, khususnya
Kementrian Sosial Republik Indonesia yang terus mencari formula dalam menangani
penyandang disabilitas. Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM dibuat dalam menangani
penyandang disabilitas di Indonesia. Permasalahan penyandang disabilitas yang
kompleks menjadi alasan tersendiri, dibutuhkannya proses dalam menangani
penyandang disabilitas ini.
Sumber: Riskesdas
Tahun 2013 (Buletin Disabilitas
Kemenkes RI, 2014)
|
Sumber: Riskesdas
Tahun 2013 (Buletin Disabilitas
Kemenkes RI, 2014)
|
Data-data
diatas adalah gambaran bagaimana keadaan penyandang disabilitas di Indonesia.
Pendidikan yang rendah menjadi gambaran akan penyandang disabilitas di
Indonesia. Bahkan berdasarkan data diatas, kebanyakan penyandang disabilitas
belum sekolah.
Data diatas juga menyajikan
bahwa keadaan penyandang disabilitas di Indonesia yang tidak bekerja. Hal ini
tentunya semakin tergambarkan bagaimana keadaan penyandang disabilitas di
Indonesia. Padahal peraturan perundang undangan di Indonesia beberapa mengatur
tentang hak pekerjaan penyandang disabilitas.
Masalah penyandang
disabilitas tidak hanya sampai disitu stigma dari masyarakat di lingkungan
sekitar juga menjadi perhatian khusus dalam menangani penyandang disabilitas.
Ditambah lagi konsep diri dari penyandang disabilitas yang bersangkutan yang
relatif rendah.
Hal ini saya paparkan bukan
tanpa alasan fakta. Dari beberapa kali praktek di pekerjaan sosial di beberapa
daerah, hal yang demikian selalu dialami oleh penyandang disabilitas. Misalnya
sewaktu saya praktek di Desa Legoksari Kecamatan Darangdan Purwakarta Jawa
Barat, hal-hal seperti ini memang masih dialami oleh penyandang disabilitas.
Pemerintah dirasakan bukan
tanpa aksi dalam menangani penyandang disabilitas. Akan tetapi keterbatasan
pemerintah karena faktor wilayah Indonesia yang demikian luas, faktor
pendanaan, data disabilitas yang tidak valid tentunya menjadi kendala
tersendiri dalam menangani penyandang disabilitas di Indonesia.
Dari beberapa program yang
dibuat oleh pemerintah juga masih belum merata dirasakan oleh seluruh wilayah
di Republik Indonesia. Misalnya saja RBM (Rehabilitasi Berbasis Masyarakat, ASODK
(Asistensi Sosial Orang denga Kedisabilitasan), Unit Pelayanan Rehabilitasi
Sosial Keliling (UPRSK) hanya terdengar sepintas di telinga. Begitu juga halnya
dengan lokasi pratek saya di Desa Legoksari, dimana program-program ini belum
diterima oleh para penyandang disabilitas di Desa Legokasari. Padahal
penyandang disabilitas di Desa Legoksari ini terbilang banyak.
Fakta ini membuat saya
mengajukan model penanganan pekerja sosial untuk mengusahakan Rencana Aksi
Nasional untuk Indonesia Inklusif Disabilitas. Model ini saya namakan mix model, yang merupakan gabungan daru
beberapa model pekerjaan sosial penanganan disabitas.
Social work mix model ini pernah saya gunakan waktu saya
melaksanakan praktek di Desa Legoksari Kecamatan Darangdan Purwakarta Jawa
Barat, dan telah saya adaptasi. Pelaksanaan model ini di lokasi praktek saya
terbilang berhasil dan menyentuh segala aspek permasasalahan penyandang
disabilitas. Model ini saya buat berdasarkan realitas penyandang disabilitas
yang ada di Indonesia.
D.
TINJAUAN TEORITIS TENTANG MIX MODEL
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016 menyatakan bahwa “Penyandang Disabilitas adalah setiap orang
yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam
jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami
hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan
warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak”. Pengertian diatas juga sama
halnya dengan pengertian yang termuat dalam CRPD.
Berdasarkan
pengertian disabilitas diatas, terlihat bahwa masalah penyandang disabilitas
adalah fisiknya yang cacat, lingkungan yang menghambat, dan hak yang tidak sama. Hal ini juga sama
halnya dengan permasalahan yang dialami oleh penyandang disabilitas di
Indonesia. sehingga pekerja sosial harus bisa melakukan treatment atau intervensi
dalam berbagai aspek permasalahan yang di alami oleh penyandang disabilitas di
Indonesia.
Menurut
Armando T. Morales & Sheafor (1998:385) penyandang disabilitas dapat dilihat
sebagai suatu kelompok yang minoritas. Ada 4 kriteria esensial dari kelompok
yang minoritas yaitu:
- Is identifiable, either interms of appreance or behavior
- Experiences less acces to power so that fewer resource, influence dan control are afforded do it
- Experience discriminatory treatment, often evidenced by segregation and stereotyping
- Sees istself as a separate group
Berdasarkan pemaparan morales dan sheafor diatas, penyandang
disabilitas di Indonesia memang merupakan adalah kelompok yang minoritas.
Penyandang disabilitas sering dihambat oleh lingkungannya, tidak punya
kekuatan, kekurangan sumber, mengalami diskriminasi, mendapatkan stigma dan
seperti terpisah dari kehidupan bermasyarakat. Sehingga dengan demikian
dibutuhkan pekerja sosial dengan mix
method yang menangani permasalahan disabilitas di Indonesia berdasarkan
semua aspek permasalahan yang dialami oleh penyandang disabilitas di Indonesia.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka saya merancang model
intervensi pekerja sosial di Indonesia bagi disabilitas dengan mix
method yaitu dengan menggabungkan Model Asesmen Kebutuhan Komunitas (The Community Needs Assesment Model), Model Pemberdayaan (The Empowerment Model) dan Model Advokasi (The Advocacy Model).
Menurut Kemp (dalam Juliet C. Rothman, 2003:222-223), The Community Needs Assesment Model ini
mencakup:
a.
Social work should be an understanding of the
community, its unique qualities, and its similarities to othe communities.
b.
A variety of tools be used to assess different
dimension and qualities of the community and its needs. Theses method can
include surveys, mailed questionnaires,
census data, personal or telephone interviews, observation, and use the focus
or other groups.
c.
Assesors both within and without the community should
approach the data gathering process with an open mind and willingness to listen
and learn
d.
While needs
assessment are of necessity needs focused, it is important to include community
strengths and resources in the assessment.
Menurut Lee (dalam Juliet C. Rothman, 2003:211)
pekerja sosial dengan individu penyandang disabilitas dalam The Empowerment Model, dapat melakukan 8
hal yaitu:
a. Utilizing processes and skills that promote coping,
adaptation, and/or social change include reflection, thinking and problem
sloving.
b.
Increasing motivation through the use of empowering
skills and through ensuring that the client’s basic need are met.
c. Maintaining psychic comfort and self estem to
externalize the source of oppression and reduce self blame
d. Enhancing problem solving and promoting self direction
through teaching skills, and the provision of experiential opportunities
e. Utilizing special worker skills, such as consciousness
raising and education and practicing in a manner that support equality,
symmetry, and parity between worker and client.
f. Where appropriate, using empowerment skills with
groups and communities to promote social change
g. Assuming a professional stance that includes self
awerenes and places the oppression experience as one of the issues to be
considered in working with the client.
h. Knowing both clinical processes and methods, as
suggested above, and political is essential
Menurut Hepworth, Rooney, and Larsen (dalam Juliet C.
Rothman, 2003:212) proses The
Advocacy Model model yaitu:
a. Obtain needed services and resources
b. Modify policies, procedures, and practices that
negatively impact of clients
c. Promote new legislation or policies to meet
client needs
Than,, for shorter, this is my model:
SOCIAL WORKER IS A LEADING PROFESSION FOR DISABILITY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar