Kelompok
penyandang disabilitas seringkali didiskriminasi dan berada dalam posisi
"subordinasi abadi" (istilah yang di ambil dari hukum dan kelompok
yang kurang beruntung). Masyarakat memiliki pandangan bahwa kecacatan merupakan
aib atau kutuk. Sehingga masyarakat cenderung menjauhi orang-orang penyandang
disabilitas, bahkan memperlakukan mereka dengan salah. Hal ini tentunya
merupakan masalah.
Diskriminasi terhadap
penyandang cacat lebih didasarkan pada kondisi fisik atau kecacatan yang
disandangnya. Masyarakat selama ini memperlakukan para penyandang cacat secara
berbeda lebih didasarkan pada asumsi atau prasangka bahwa dengan kondisi
penyandang cacat yang kita miliki, kita dianggap tidak mampu melakukan
aktifitas sebagaimana orang lain pada umumnya.
Secara medis kecacatan sebagai kondisi
biologis (patologis). Cacat merupakan bawaan seseorang dari lahir (bukan
disebabkan oleh lingkungan). Pandangan ini mengabadikan konsep orang penyandang
cacat sebagai “sakit” dan bergantung pada pelayanan medis. Penyandang cacat dilihat dari segi moral,
penyandang cacat dikaitkan sebagai orang dengan dosa dan kejahatan. Perlakuan
diskriminasi semacam ini dapat dilihat secara jelas dalam bidang lapangan
pekerjaan.Para penyedia lapangan pekerjaan kebanyakan enggan untuk menerima
seorang penyandang cacat sebagai karyawan. Mereka berasumsi bahwa seorang
penyandang cacat tidak akan mampu melakukan pekerjaan seefektif seperti
karyawan lain yang bukan penyandang cacat. Sehingga bagi para penyedia lapangan
kerja, mempekerjakan para penyandang cacat sama artinya dengan mendorong
perusahaan dalam jurang kebangkrutan karena harus menyediakan beberapa alat
bantu bagi kemudahan para penyandang cacat dalam melakukan aktifitasnya.
Sebagai salah satu contoh perlakuan
diskriminatif terhadap penyandang cacat. Kita masih sering membaca dalam
pengumuman penerimaan calon pegawai atau karyawan salah satu poin yang
mensyaratkan bahwa pelamar harus sehat jasmani dan rohani serta berpenampilan
menarik. Biasanya persyaratan tersebut tertulis tanpa penjelasan, sehingga
maknanya pun sangat umum. Arti sehat jasmani dapat dimaknai bahwa selain
seseorang tidak memiliki kekurangan fisik, dia juga terbebas dari segala
penyakit seperti penyakit ginjal, kanker, atau penyakit lainnya. Sedangkan
sehat rohani dapat juga diartikan bukan hanya sehat secara mental (psikis)
namun juga sehat secara moral. Sedangkan berpenampilan menarik, harus bisa rapi
tanpa ada kekurangan satu apa pun. Hal ini tentunya sangat mendiskriminasikan
para penyandang cacat.
Seseorang akan dengan langsung ditolak
menjadi pelamar kerja jika nyata-nyata dia buta, tuli, bisu, atau pincang.
Namun tidak bagi mereka yang mengidap penyakit kencing manis, radang paru, atau
penyakit sejenis yang tidak nyata kelihatan. Hal ini akan menjadi aneh ketika
kedua persyaratan tersebut digeneralisasikan untuk semua jenis pekerjaan.
Fakta lain yang dapat dijadikan contoh
adalah tentang keberadaan fasilitas umum di sekitar kita. Fasilitas umum
seperti transportasi umum, bangunan umum seperti, kantor bank, rumah sakit,
puskesmas, sekolah, kampus, dan sebagainya. Kebanyakan dari fasilitas umum di
Indonesia dibangun dengan tanpa memperhitungkan keberadan para penyandang
cacat. Penyandang cacat sebagaimana anggota warga negara yang lain tentunya
memiliki hak yang sama untuk menikmati fasilitas yang dibangun oleh
pemerintahnya. Mengesampingkan keberadaan mereka berarti juga telah
memperlakukan kelompok para penyandang cacat secara diskriminatif.
Draft RUU Penyandang Disabilitas Tahun
2014 Pasal 1 Ayat 2 kesamaan kesempatan adalah keadaan yang menyediakan
peluang/akses yang sama kepada penyandang disabilitas untuk menyalurkan potensi
dalam segala aspek penyelengaraan Negara. Selain itu, dalam ayat 3 diskriminasi
adalah setiap pembedaan, pengecualian, atau pembatasan atas dasar disabilitas
yang dimaksud atau berdampak membatasi atau meniadakan pengakuan, penikmatan
atau pelaksanaan hak penyandang disabilitas. Dari pengertian diatas terlihat
bahwa pemerintah begitu memperhatikan penyandang disabilitas. Masyarakat
Indonesia diharapkan tidak mendiskrimanasikan para penyandang disabilitas
dimaksud.
Selain itu, dalam UU Nomor 4 Tahun 1997
tentang Penyandang Cacat Pasal 6 menyebutkan bahwa Setiap penyandang cacat
berhak memperoleh:
1.
Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan
jenjang pendidikan;
2.
Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan
jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya;
3.
Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan
dan menikmati hasil-hasilnya;
4.
Aksebilitas dalam rangka kemandiriannya;
5.
Rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf
kesejahteraan sosial; dan
6.
Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat,
kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat.
UU Nomor 4
Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Pasal 13 juga menyampaikan bahwa Setiap
penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan
pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
Dari beberapa penjelasan ini terlihat
bahwa penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan
pekerjaan. Akan tetapi pada kenyataannya, para penyandang disabilitas mendapat
diskriminasi di dunia kerja, meskipun dalam UU Nomor 4 Tahun 1997 telah
menyampaikan bahwa penyandang disabilitas juga memiliki kesempatan yang sama
untuk mendapatkan kesempatan kerja.
UU Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 14 juga
menyebutkan bahwa perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan
perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang
cacat di perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan,
dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau
kualifikasi perusahaan.
Peraturan tentang kuota kesamaan
kesempatan bagi penyandang cacat telah
diatur secara jelas dalam PP No 43 Tahun 1998 Tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial
Penyandang Cacat yang terdapat dalam Pasal 28 yaitu: Pengusaha harus
mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi
persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagai pekerja pada perusahannya
untuk setiap 100 (seratus) orang pekerja perusahaannya.
Kenyataanya di Indonesia hak penyandang disabilitas
untuk bekerja masih sangat minim. Banyak perusahaan yang belum
mempekerjakan penyandang disabilitas tersebut. Hal ini tentunya sangat
memprihatikan mengingat peraturan Undang-Undang telah dibuat akan tetapi
implementasinya masih jauh dari harapan. Misalnya saja dalam proses perekrutan
pegawai dalam sebuah perusahaan memiliki kualifikasi yang belum berpihak kepada
pemenuhan hak penyandang disabilitas. Kebanyakan perusahaan menuntut para
pekerja yang akan direkrut memiliki fisik yang sempurna. Selain itu, salah satu
masalah terbesar yang dihadapi oleh banyak penyandang disabilitas di tempat
kerja adalah kurangnya infrastruktur yang tepat. Sebagian besar usaha, maka harus membangun
infrastruktur ketentuan tambahan untuk para penyandang disabilitas, misalnya,
khusus untuk kursi roda landai atau ketentuan untuk dokumen yang ditulis dalam
huruf braille.
Pada kenyataannya pemerintah masih belum
mengimplementasikan undang-undang disabilitas dalam mengenai pemenuhan hak-hak
disabilitas dalam menciptakan lapangan kerja yang berpihak kepada penyandang
disabilitas. Misalnya: Porsi penerimaan penyandang disabilitas dalam perekrutan
CPNS lembaga Negara, belum banyak
memberi kesempatan kepada penyandang disabilitas. Tekanan pemerintah
kepada perusahaan-perusahaan swasta untuk menerima penyandang disabilitas,
dirasa masih minim. Pemerintah seolah-olah hanya mengeluarkan undang-undang
tentang penyandang disabilitas tanpa memperhatikan implementasinya.
1. Populasi
Populasi yang
mengalami pendiskriminasian yaitu penyandang disabilitas. Pendiskriminasian ini
khususnya yaitu dalam mendapatkan pekerjaan.
2. Bentuk
Ketidakadilan
Seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya isu ketidakadilan bagi penyandang disabilitas
yang kami angkat yaitu tentang diskriminasi kepada penyandang disabilitas dalam
mendapatkan pekerjaan. Kami merasa tertarik dengan isu ini karena minimnya
kesempatan kerja bagi para penyandang disabilitas khususnya di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan pemerintah maupun swasta begitu nyata mendiskriminasikan
para penyandang disabilitas dalam proses perekrutan tenaga kerja.
Meskipun
peraturan perundang-undangan tentang kesamaan kesempatan kerja penyandang
disabilitas sudah ada, tapi belum terlihat praktik di dalam dunia kerja di
Indonesia. Perusahaan-perusahaan swasta sepertinya tidak mengikuti peraturan
perundang-undangan ini. Lebih memprihatikan mengingat perusahaan-perusahaan
milik pemerintah yang harusnya mengikuti peraturan perundang-undangan ini
dirasa masih sangat terbatas dalam menerapkannya. Kementrian Sosial Republik
Indonesia mungkin sudah mulai menerapkannya dengan merekrut para penyandang
disabilitas dalam penerimaan CPNS; akan tetapi bagaimana dengan kementrian yang
lain ?
Hal
ini sangat memprihatikan mengingat penyandang disabilitas juga adalah warga
Negara Indonesia yang tentunya memiliki hak yang sama dengan warga negara
lainnya dalam mendapatkan pekerjaan. Pemerintah sebagai pelaksana kebijakan,
dirasa belum mampu mengimplementasi perarturan yang tertuang dalam
undang-undang disabilitas akan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas
tersebut.
Mungkinkah
peraturan-perundangan tentang penyandang disabilitas ini yang kurang tepat atau
penerapannya yang tidak baik ?. Hal ini patut menjadi perhatian kita bersama
sebagai para pekerja-pekerja sosial.
3. Pelaku
Diskrimasi
dapat terjadi pada tingkat (1) tingkat negara-pemerintah biasanya terwujud
dalam bentuk kebijakan dan peraturan, (2) tingkat masyarakat, baik itu
lingkungan masyarakat sekitar seperti Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) maupun lingkungan
masyarakat yang lebih luas seperti tempat kerja, kelurahan, desa atau daerah
dan (3) tingkat keluarga, baik itu pasangan, orangtua, anak, kak-adik, maupun
lingkungan keluarga besar dan kerabat.
Di
tingkat negara pendiskriminasian kepada penyandang disabilitas di dunia kerja
terlihat dengan kurangnya perhatian pemerintah dalam upaya membantu penyandang
disabilitas mendapatkan pekerjaan. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat yang memuat hak-hak penyandang disabilitas sudah lama dibuat
akan tetapi dirasa belum diimplementasikan. Pemerintah harusnya menjadi
pelaksana sekaligus pengawas dalam mengimplementasikan peraturan
perundang-undangan ini. Badan-badang usaha milik negara pun sepertinya tidak
melaksanakan peraturan perundang-undangan ini. Kantor-kantor pemerintah masih
belum semuanya akses bagi para penyandang disabilitas. Sebagai warga Negara
Indonesia, ini menjadi pertanyaan besar, apakah peraturan perundang-undangan
dibuat hanya sebagai formalitas saja, hanya untuk dibaca saja, atau untuk
dilaksanakan?
Di
tingkat masyarakat juga dirasa masih ada diskriminasi bagi penyandang
disabilitas dalam mendapatkan pekerjaan. Masyarakat masih memiliki stigma yang
buruk bagi para penyandang disabilitas sebagai sesuatu yang salah dan merupakan
sebuah dosa atau aib. Banyak masyarakat memiliki pandangan bahwa penyandang
disabilitas tidak dapat bekerja dan hanya bisa bergantung kepada orang lain.
Hal ini menjadi perhatian kita semua, mengingat penyandang disabilitas juga
manusia dan memiliki potensinya tersendiri. Misalnya saja penyandang
disabilitas jenis autism, sebenarnya memiliki potensi yang kuat jika terus
digali dan diasah. Kita tentunya melihat bahwa banyak penyandang disabilitas
yang berprestasi dan bahkan bisa melakukan sesuatu lebih daripada orang normal
pada umumnya.
Di
tingkat keluarga, diskriminasi kepada penyandang disabilitas dalam mendapat
pekerjaan masih bagitu nyata. Banyak keluarga yang tidak menerima dan merasa
malu akan keadaan anggota keluarganya yang penyandang disabilitas. Hal ini
tentunya mengurangi semangat dan kepercayaan diri penyandang disabilitas dalam
mencari pekerjaan. Keluarga juga merasa bahwa penyandang disabilitas tidak bisa
melakukan apa-apa dan hanya bisa bergantung kepada orang lain. Padahal
penyandang disabilitas juga manusia yang memiliki bakat dan potensinya
masing-masing. Keluarga harusnya selalu mendukung anggota keluarganya
penyandang disabilitas sehingga penyandang disabilitas dapat lebih semangat
dalam menjalani hidupnya.
4. Penyebab
Ketidakadilan
Diskriminasi
kepada penyandang disabilitas di dunia kerja disebabkan oleh berbagai aspek.
Perhatian pemerintah kepada penyandang disabilitas dirasa sangat minim menjadi
salah satu penyebabnya. Meskipun peraturan perundang-undangan tentang
penyandang disabilitas suda ada, akan tetapi pemerintah sepertinya tidak
memiliki hasrat yang sungguh dalam menerapkannya. Misalnya saja perekrutan
pegawai pemerintah yang menentukan harus berpenampilan menarik dan sehat,
menjadi indikator bahwa pemerintah tidak memperhatikan aksessibilitas penyadang
disabilitas di dunia pekerjaan. Harusnya pemerintah menjadi garda terdepan
dalam menjunjung tinggi hak-hak para
penyandang disabilitas ini.
Pandangan
masyarakat kepada penyandang disabilitas dinilai buruk. Masyarakat pada umumnya
menganggap penyandang disabilitas sebagai sesuatu yang salah dan sebagai dosa
atau aib. Keluarga pada umumnya juga merasa bahwa penyandang disabilitas tidak
bisa melakukan apa-apa dan hanya bergantung kepada keluarga. Banyak keluarga
yang merasa malu akan anggota keluarganya yang disabilitas. Hal ini tentunya
mengurangi bahkan mematikan harapan penyandang disabilitas dalam mendapatkan
pekerjaan. Selain itu berikut penyebab diskriminasi penyandang disabilitas di
dunia kerja:
a. Latar
belakang
Latar belakang penyandang
disabilitas yang berbeda dengan orang pada umumnya menjadi penyebab
diskriminasi penyandang disabilitas di dunia kerja. Penyandang disabilitas pada
umunya memiliki pengalaman-pengalaman yang membuat mereka merasa tidak mampu
mendapat pekerjaan.
b. Faktor
kepribadian
Penyandang disabilitas
yang masih belum menerima keadaanya dan mengalami pengalaman-pengalaman buruk
di masa lalu pasti akan merasa rendah diri dan malu akan keadaannya. Banyak
penyandang disabilitas yang mengasingkan dirinya sendiri karena merasa rendah
daripada orang pada umumnya. Hal ini juga menjadi penyebab penyandang
disabilitas tidak mendapat pekerjaan.
c. Dilatar
belakangi oleh sosio cultural
Sosial dan kebudayaan bisa menjadi
penyebab penyandang disabilitas di diskrimnasikan para
penyandang disabilitas di dunia kerja. Pandangan atau nilai bahwa penyandag
disabilitas tidak bisa melakukan apa-apa merupakan salah satu nilai di
masyarakat yang mendiskriminasikan para penyandang disabilitas dalam
mendapatkan pekerjaan.
Masyarakat dalam berinteraksi biasanya
saling membicarakan keburukan orang lain yang akan menyudutkan para penyandang
disabilitas. Hal inilah yang juga menjadi pemicu buruknya pandang masyarakat
kepada penyadang disabiltas.
d. Adanya
perbedaan perbedaan baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan
sebagainya.
Adanya perbedaan perbedaan baik dari
segi ekonomi, sosial, budaya, agama, pendidikan juga menjadi penyebab
pendiskriminasian kepada penyandang disabilitas. Banyak penyandang
disabilitas yang berasal dari keluarga yang tidak mampu. Hal ini tentunya
membuat masyarakat mendiskriminasikan mereka. Masyarakat merasa bahwa
penyandang disabilitas adalah warga yang lemah dan rendah.
Pendidikan yang rendah juga menjadi
penyebab pendiskriminasian kepada penyandang disabilitas dalam mendapat
pekerjaan. Rendahnya pendidikan penyandang disabilitas tidak lepas dari kurang
lembaga pendidikan bagi para penyandang disabilitas. Hal ini disebabkan karena
kurangnya komitmen pemerintah dalam memberikan pendidikan kepada penyandang
disabilitas. Mungkin di kota-kota besar, sudah ada beberapa pendidikan (Sekolah
Luar Biasa) bagi para penyandang disabilitas. Akan tetapi sebenarnya dirasa
masih kurang. Dan bagaiman dengan penyandang disabilitas yang berada di
desa-desa. Banyak daerah di Indonesia ini yang masih belum memiliki sekolah
yang akses kepada para penyandang disabilitas. Dengan pendidikan yang rendah,
maka peluang penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan tentunya
sedikit.
5. Dampak
Ketidakadilan
Dampak diskriminasi
kepada penyandang disabilitas di dunia kerja ini dirasa begitu banyak. Dampak
bagi penyandang disabilitas sendiri diantaranya:
a. Bergantung
sepenuhnya kepada orang lain
Perusahaan-perusahaan pemerintah dan
perusahaan-perusahaan swasta banyak yang tidak menerima penyandang disabilitas.
Hal ini tentunya membuat para penyandang disabilitas tidak memiliki
penghasilan. Penyandang disabilitas bergantung kepada orang lain khususnya
kepada keluarga. Hal ini menimbulkan banyak masalah yang besar bagi kehidupan
penyandang disabilitas itu sendiri. Penyandang disabilitas juga manusia yang
memiliki hasrat/keinginan untuk maju dan memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar
yang harus dipenuhi. Bergantung kepada orang lain, akan membuat penyandang
disabilitas tidak dapat mengembangkan hidupnya dan mencukupi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
b. Merasa
tidak berguna
Diskriminasi kepada penyandang disabilitas
akan membuat para penyandang disabilitas akan merasa tidak berguna. Ketika
penyandang disabilitas tidak mendapatkan pekerjaan dan hanya tinggal di rumah
dan bergantung kepada orang orang lain akan membuat penyandang disabilitas
merasakan masalah-masalah yang besar. Perasaan tidak berguna ini akan membuat
penyandang kehilangan semangat hidup dan mematikan bakat dan potensi dari
penyandang disabilitas tersebut. Padahal penyandang disabilitas juga adalah
manusia yang memiliki bakat dan potensinya masing-masing yang harusnya
dikembangkan.
c. Masa
depan yang tidak jelas
Diskriminasi kepada penyandang disabilitas
dalam mendapatkan pekerjaan akan membuat masa depan penyandang disabilitas akan
hancur dan tidak jelas. Ketika seorang penyandang disabilitas bergantung kepada
orang lain maka masa depannya akan tidak jelas. Tidak jelas maksudnya bahwa,
tidak selamanya orang yang mengurusnya saat ini akan terus mengurusnya Penyandang
disabilitas harusnya bisa mengurus dirinya sendiri tanpa harusnya bergantung
sepenuhnya kepada orang lain. Hal ini juga berhubungan dengan pandangan
keluarga kepada penyandang disabilitas. Keluarga harus mendukung penyandang
disabilitas untuk dapat hidup mandiri.
d. Merasa
rendah diri
Ketika penyandang disabilitas sudah
diterima di dunia kerja tapi orang-orang di lingkungan kerjanya mendiskriminasikannya,
maka penyandang disabilitas pasti akan merasa rendah diri. Hal ini sudah
menjadi kebudayaan di lingkungan kerja, bahwa penyandang disabilitas tidak bisa
apa-apa. Hal ini akan mengurangi kreatifitas penyandang disabilitas dalam
melaksanakan tugas-tugasnya. Di tambah lagi gedung kerja yang tidak akses dan
ramah kepada penyandang disabilitas. Hal-hal seperti ini akan membuat
penyandang disabilitas rendah diri dan tidak dapat berkreatifitas dalam
melaksanakan pekerjaannya. Peran pemerintah dalam memperhatikan gedung kerja
yang ramah bagi penyandang disabilitas harusnya nyata. Pemerintah harusnya
memberikan standarisasi dan ketegasan dalam aksesibilitas penyandang disabilitas dalam dunia kerja.
SALAM PEKERJA SOSIAL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar