Di
Indonesia, angka penyandang disabilitas selalu meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang
dilansir oleh Kemenkes tahun 2013 tercatat
sebanyak 6,7 juta jiwa atau 3,11% (jpnn.com, 15/3/2016). Berdasarkan Laporan Dunia Mengenai
Penyandang Cacat yang dikemukakan oleh WHO dan Bank Dunia dalam situs tersebut
menunjukkan bahwa jumlah penyandang di dunia mencapai angka satu
milliar atau 15% dari seluruh penduduk dunia (voaindonesia.com, 15/3/2016). Angka tersebut sungguh
fantastis bila dibandingkan dengan jumlah penduduk di Indonesia khususnya, dan
dunia pada umumnya.
Menurut
Juliet C. Rothman (2003:xvii), masyarakat memiliki stigma/label kepada para
penyandang disabilitas, hingga kepada struktur sosial yang tidak mendukung para
penyandang disabilitas. Untuk memahami terminology disabilitas ini, maka dapat
dikategotikan berdasarkan label masyarkat yaitu: Impairment,
Handicap, Disability.
Sebagaimana
warga negara pada umumnya penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama dalam
segala aspek kehidupan dan penghidupan. Aspek dimaksud bukan semata
permasalahan rehabilitasi sosial atau bantuan sosial, tetapi menyangkut segala
aspek kehidupan yang menyangkut hak penyandang disabilitas. Perhatian terhadap
penyandang disabilitas merupakan tanggung jawab dan melibatkan semua pihak ,
baik pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Hal ini menunjukkan bahwa “Masalah disabilitas masih
dianggap sebagai permasalahan yang urgen
untuk ditangani. Perhatian bagi penyandang
disabilitas masih perlu ditingkatkan, terutama pada pelayanan
aksesibilitas dalam berbagai fasilitas pelayanan dasar dan perlakuan
diskriminasi baik langsung maupun tidak langsung.
Program pemerintah saat ini
yaitu Peningkatan inklusivitas penyandang
disabilitas yang menyeluruh pada setiap aspek kehidupan. Lalu apa sebenarnya yang mendasari pemerintah menggagas program
inklusifitas penyandang disabilitas ini ?
1. Undang-Undang
Nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention
On The Rights Of Persons With Disabilities
(CRPD) menyatakan bahwa “Penyandang disabilitas yaitu orang yang memiliki
keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu yang
lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui
hambatan yang menyulitkan untuk
berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak”.
Dari pengertian diatas
terlihat bahwa seseorang yang mengalami disabilitas disebabkan karena adanya
hambatan dari lingkungan dan sikap masyarkat yang menyulitkan penyandang
disabilitas untuk berpartisipasi penuh. Artinya titik kedisabilitasan atau
tidaknya seseorang sebenarnya ditentukan oleh lingkungannya. Jika lingkungan
inklusif bagi penyandang disabilitas maka, dia tentunya akan terlepas dari
permasalahan.
Akan tetapi program
pemerintah selama ini lebih mengarah kepada rehabilitasi di tingkat individual
saja fisik, mental, intelektual, atau sensorik. Padahal
sebenarnya disabilitas atau tidaknya seseorang ditentukan oleh lingkungannya.
2. Berdasarkan model sosial (Juliet C. Rothman) maka
disabilitas dapat dipahami:
Gambar diatas menjelaskan bahwa disabilitas sebenarnya lebih
banyak disebabkan oleh karena sikap pemerintah, masyarakat dan disabilitas itu
sendiri. Sikap yang menghambat inilah yang kemudian membuat kedisabilitasan itu
sendiri. Model sosial memandang bahwa masalah disabilitas berasal dari
lingkungan, sehingga lingkunganlah yang menjadi sasaran untuk intervensi
pertolongan.
Pekerjaan
sosial sebagai profesi pertolongan kemanusiaan memiliki akses dan peran dalam
pemberian pelayanan sosial terhadap penyandang disabilitas. Upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas merupakan salah
satu bidang pelayanan pekerjaan sosial, dimana pekerjaan sosial menempatkan
disabilitas dalam konteks yang kompleks dari keberadaannya. Kondisi
kecacatannya, permasalahan sosialnya baik permasalahan yang bersifat individual
maupun masalah yang bersifat pada kebijakan yang menyangkut hak penyandang
disabilitas sampai pemberian pelayanan rehabilitasi sosial dan
pemberdayaan bagi penyandang
disabilitas, ditujukan agar dapat
mencapai keberfungsian sosial.
Hubungan dengan
mengusahakan inklusifitas, maka hal ini merupakan tugas dari pekerja sosial.
Pendekatan pekerja sosial yang melihat individu dari lingkungannya PIE (Person In Environment) tentunya sangat
relevan dengan konsep inklusifitas ini. Bahkan sampat pada tingkat advokasi
kebijakan dapat dilakukan oleh pekerja sosial untuk mengusahakan inklusiftas
penyandang disabilitas.
Dalam literature pekerjaan
sosial, strategi pekerja sosial dalam pengembangan masyarakat ada tiga yaitu:
Kolaborasi, Kampanye dan Kontes (Netting dkk, 2004:345):
Maka pertanyaan yang muncul
yaitu, dalam mengusahakan inklusifitas penyandang disabilitas, strategi dan
taktik mana yang paling tepat ?
Banyak masyarakat yang
sebenarnya tidak tahu menahu tentang disabilitas. Mereka hanya memiliki stigma
kepada disabilitas tanpa adanya alasan yang jelas. Banyak juga yang menjauhi
penyandang disabilitas karena takut ketularan atau karena anggapan lainnya.
Padahal itu sebenarnya adalah anggapan masyarakat yang salah. Banyak juga yang
beranggapan bahwa kedisabilitasan adalah suatu dosa atau aib karena kesalahan
penyandang disabilitas tersebut. Anggapan lain masyarakat bahwa penyandang
disabilitas tidak dapat bekerja dan tidak memiliki masa depan. Sehingga banyak
penyandang disabilitas yang tidak sekolah dan hanya berdiam diri di rumah saja.
Bahkan banyak penyandang disabilitas yang dikurung dirumah oleh karena keluarga
yang malu dengan keadaan anggota keluarganya yang disabilitas. Padahal banyak
penyandang disabilitas yang telah sukses dan berkarya di tingkat nasional
bahkan di tingkat nasional. Artinya anggapan-anggapan masyrakat terhadap
disabilitas banyak yang salah dan harus diubah.
Maka strategi yang tepat
untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas ini yaitu
dengan strategi Campaign. Strategi memandang
bahwa sistem sasaran membutuhkan komunikasi lebih lanjut (Netting 2003:350).
Taktik yang dapat dilakukan yaitu Education,
Persuasion, Mass Media Appeal.
Fenoma lain hubungannya
dengan inklusifitas penyandang disabilitas yaitu kebijakan-kebijakan yang tidak
direalisasikan dengan baik. Misalnya: Draft RUU
Penyandang Disabilitas Tahun 2014 Pasal 1 Ayat 2 kesamaan kesempatan, ayat 3 diskriminasi; dalam
UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Pasal 6 yang menjelaskan hak-hak para penyadang disabilitas,
Pasal 14 tentang pemberian kesempatan pekerjaan kepada
penyandang disabilitas; dan masih banyak kebijakan-kebijakan lain yang belum
diterapkan sebagaimana mestinya. Draft UU Disabilitas yang baru saja disetujui
oleh DPR juga apakah bisa dilaksanankan nantinya dengan baik ?
Maka strategi yang tepat untuk
menangani fenomena kebijakan yang tidak diaplikasikan ini, yaitu Contest. Contest dapat dilakukan pada situasi (1) target sistem tidak setuju
denga sistem aksi (2) sistem target menolak berkomunikasi deng sistem
aksi/pelaksana perubahan (3) program harus diusulkan untuk perubaham (Netting,
2003:353). Taktik yang dapat dilakukan yaitu: Bargaining & Negotiation (tawar
menawar, negosiasi), Large-group or
community action (aksi sosial).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar