Sabtu, 18 Februari 2017

Mengusahakan Inklusifitas Disabilitas dengan Pendekatan Pekerja Sosial Makro (Metode dan Teknik)




Di Indonesia, angka penyandang disabilitas selalu meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang dilansir oleh Kemenkes tahun 2013 tercatat sebanyak 6,7 juta jiwa atau 3,11% (jpnn.com, 15/3/2016). Berdasarkan Laporan Dunia Mengenai Penyandang Cacat yang dikemukakan oleh WHO dan Bank Dunia dalam situs tersebut menunjukkan bahwa  jumlah penyandang  di dunia mencapai angka satu milliar atau 15% dari seluruh penduduk dunia (voaindonesia.com, 15/3/2016). Angka tersebut sungguh fantastis bila dibandingkan dengan jumlah penduduk di Indonesia khususnya, dan dunia pada umumnya.
Menurut Juliet C. Rothman (2003:xvii), masyarakat memiliki stigma/label kepada para penyandang disabilitas, hingga kepada struktur sosial yang tidak mendukung para penyandang disabilitas. Untuk memahami terminology disabilitas ini, maka dapat dikategotikan berdasarkan label masyarkat yaitu: Impairment, Handicap, Disability.
Sebagaimana warga negara pada umumnya penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Aspek dimaksud bukan semata permasalahan rehabilitasi sosial atau bantuan sosial, tetapi menyangkut segala aspek kehidupan yang menyangkut hak penyandang disabilitas. Perhatian terhadap penyandang disabilitas merupakan tanggung jawab dan melibatkan semua pihak , baik pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Hal ini  menunjukkan bahwa “Masalah disabilitas masih dianggap sebagai permasalahan  yang urgen untuk ditangani. Perhatian bagi penyandang  disabilitas masih perlu ditingkatkan, terutama pada pelayanan aksesibilitas dalam berbagai fasilitas pelayanan dasar dan perlakuan diskriminasi baik langsung maupun tidak langsung.
Program pemerintah saat ini yaitu Peningkatan inklusivitas penyandang disabilitas yang menyeluruh pada setiap aspek kehidupan. Lalu apa sebenarnya yang mendasari pemerintah menggagas program inklusifitas penyandang disabilitas ini ?
1.    Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (CRPD) menyatakan bahwa “Penyandang disabilitas yaitu orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu yang lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak”.
Dari pengertian diatas terlihat bahwa seseorang yang mengalami disabilitas disebabkan karena adanya hambatan dari lingkungan dan sikap masyarkat yang menyulitkan penyandang disabilitas untuk berpartisipasi penuh. Artinya titik kedisabilitasan atau tidaknya seseorang sebenarnya ditentukan oleh lingkungannya. Jika lingkungan inklusif bagi penyandang disabilitas maka, dia tentunya akan terlepas dari permasalahan.
       Akan tetapi program pemerintah selama ini lebih mengarah kepada rehabilitasi di tingkat individual saja fisik, mental, intelektual, atau sensorik. Padahal sebenarnya disabilitas atau tidaknya seseorang ditentukan oleh lingkungannya.
2.      Berdasarkan model sosial (Juliet C. Rothman) maka disabilitas dapat dipahami:
Gambar diatas menjelaskan bahwa disabilitas sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh karena sikap pemerintah, masyarakat dan disabilitas itu sendiri. Sikap yang menghambat inilah yang kemudian membuat kedisabilitasan itu sendiri. Model sosial memandang bahwa masalah disabilitas berasal dari lingkungan, sehingga lingkunganlah yang menjadi sasaran untuk intervensi pertolongan.

Pekerjaan sosial sebagai profesi pertolongan kemanusiaan memiliki akses dan peran dalam pemberian pelayanan sosial terhadap penyandang disabilitas. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas merupakan salah satu bidang pelayanan pekerjaan sosial, dimana pekerjaan sosial menempatkan disabilitas dalam konteks yang kompleks dari keberadaannya. Kondisi kecacatannya, permasalahan sosialnya baik permasalahan yang bersifat individual maupun masalah yang bersifat pada kebijakan yang menyangkut hak penyandang disabilitas sampai pemberian pelayanan rehabilitasi sosial dan pemberdayaan  bagi penyandang disabilitas, ditujukan agar  dapat mencapai  keberfungsian sosial.
Hubungan dengan mengusahakan inklusifitas, maka hal ini merupakan tugas dari pekerja sosial. Pendekatan pekerja sosial yang melihat individu dari lingkungannya PIE (Person In Environment) tentunya sangat relevan dengan konsep inklusifitas ini. Bahkan sampat pada tingkat advokasi kebijakan dapat dilakukan oleh pekerja sosial untuk mengusahakan inklusiftas penyandang disabilitas.
Dalam literature pekerjaan sosial, strategi pekerja sosial dalam pengembangan masyarakat ada tiga yaitu: Kolaborasi, Kampanye dan Kontes (Netting dkk, 2004:345):
Maka pertanyaan yang muncul yaitu, dalam mengusahakan inklusifitas penyandang disabilitas, strategi dan taktik mana yang paling tepat ? 
Banyak masyarakat yang sebenarnya tidak tahu menahu tentang disabilitas. Mereka hanya memiliki stigma kepada disabilitas tanpa adanya alasan yang jelas. Banyak juga yang menjauhi penyandang disabilitas karena takut ketularan atau karena anggapan lainnya. Padahal itu sebenarnya adalah anggapan masyarakat yang salah. Banyak juga yang beranggapan bahwa kedisabilitasan adalah suatu dosa atau aib karena kesalahan penyandang disabilitas tersebut. Anggapan lain masyarakat bahwa penyandang disabilitas tidak dapat bekerja dan tidak memiliki masa depan. Sehingga banyak penyandang disabilitas yang tidak sekolah dan hanya berdiam diri di rumah saja. Bahkan banyak penyandang disabilitas yang dikurung dirumah oleh karena keluarga yang malu dengan keadaan anggota keluarganya yang disabilitas. Padahal banyak penyandang disabilitas yang telah sukses dan berkarya di tingkat nasional bahkan di tingkat nasional. Artinya anggapan-anggapan masyrakat terhadap disabilitas banyak yang salah dan harus diubah.
Maka strategi yang tepat untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas ini yaitu dengan strategi Campaign. Strategi memandang bahwa sistem sasaran membutuhkan komunikasi lebih lanjut (Netting 2003:350). Taktik yang dapat dilakukan yaitu Education, Persuasion, Mass Media Appeal.
Fenoma lain hubungannya dengan inklusifitas penyandang disabilitas yaitu kebijakan-kebijakan yang tidak direalisasikan dengan baik. Misalnya: Draft RUU Penyandang Disabilitas Tahun 2014 Pasal 1 Ayat 2 kesamaan kesempatan, ayat 3 diskriminasi; dalam UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Pasal 6 yang menjelaskan hak-hak para penyadang disabilitas, Pasal 14 tentang pemberian kesempatan pekerjaan kepada penyandang disabilitas; dan masih banyak kebijakan-kebijakan lain yang belum diterapkan sebagaimana mestinya. Draft UU Disabilitas yang baru saja disetujui oleh DPR juga apakah bisa dilaksanankan nantinya dengan baik ?
Maka strategi yang tepat untuk menangani fenomena kebijakan yang tidak diaplikasikan ini, yaitu Contest. Contest dapat dilakukan pada situasi (1) target sistem tidak setuju denga sistem aksi (2) sistem target menolak berkomunikasi deng sistem aksi/pelaksana perubahan (3) program harus diusulkan untuk perubaham (Netting, 2003:353). Taktik yang dapat dilakukan yaitu: Bargaining & Negotiation (tawar menawar, negosiasi), Large-group or community action (aksi sosial).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar